PERTARUHAN nalar pada era kekinian yang muncul bukan karena klenik, dunia gaib, atau mitologi menjadi pilihan banyak orang. Pun bukan karena penguasa (pemerintah) menjadi diktator dan mengontrol semua aspek kehidupan sehingga meneror orang-orang yang berseberangan dengan ideologi pemerintah.
Pertaruhan nalar justru muncul karena banjir bandang informasi. Media sosial sebagai produk hasil bernalar karena si pencipta memiliki nalar diatas rata-rata, malahan semakin membuat nalar mendapat tantangan maha dahsyat.
Adalah Donald B. Calne, profesor neurologi di The University of British Columbia yang meneliti secara komprehensif tentang nalar melalui buku magnus opusnya, Within Reason: Rationality and Human Behavior (diterjemahkan berbahasa Indonesia dengan judul Batas Nalar: Rasionalitas dan Perilaku Manusia, KPG 2004).
Nalar sejak ribuan tahun lampau diyakini sebagai anugerah yang diterima manusia untuk memberikan kearifan dan kebaikan. Sophocles berucap, nalar adalah puncak anugerah Tuhan kepada manusia.
Aristoteles menambahi bahwa bagi manusia, kehidupan berdasar nalar adalah yang terbaik dan paling menyenangkan, karena nalar tak lain adalah manusia itu sendiri. Maharaja Mogul menggenapi, keunggulan manusia bertumpu pada nalar.
Walaupun begitu, Calne mengutip pakar lainnya, Herbert A. Simon, nalar tak lebih hanyalah perkakas belaka. Nalar tidak dapat menentukan tujuan hidup kita, paling banter nalar hanya dapat memberitahu kita bagaimana caranya menuju ke sana.
Nalar adalah senjata sewaan yang hanya bisa kita gunakan untuk mencapai tujuan apa saja, baik atau buruk. (Batas Nalar, hal 19).
Dalam era digital ini kebaikan dan keburukan yang dilakukan nalar manusia berkelindan menjadi satu. Kisah, berita atau informasi tentang kebaikan yang semuanya berbasis pada fakta bisa menjadi berantakan manakala kabar ini berada ditangan orang yang memiliki pola pikir serba negatif.
Ia bisa mengubah menjadi kisah tentang keburukan dan dengan enteng disebarkan ke berbagai media sosial. Pun kabar, informasi atau apa pun namanya yang serba bohong, namun karena diwartakan oleh orang yang seakan-akan suci dan soleh, kabar ini bisa menjadi warta gembira penuh sukacita.
Ada ranah yang hari ini diyakini banyak orang sebagai wilayah di mana nalar dapat menjadi nihil. Ranah itu bernama politik.
Teori klasik menyebut bahwa politik merupakan usaha yang dilakukan warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Benarkah dalam era kekinian muara dari politik adalah kebaikan bersama?
Politik bersinggungan erat dengan kekuasaan. Menjadi tidak terbantahkan manakala untuk mendapat kekuasaan itu para politikus menggunakan segala cara.
Salah satu cara itu menyebarkan kabar serba bohong dan digemakan oleh para pendukungnya sehingga mempengaruhi nalar banyak orang. Kejadian ini sudah jamak terjadi di berbagai negara. Mulai dari pemilu di Amerika dengan kemenangan Donald Trump, Inggris yang keluar dari perjanjian Brexit hingga pemilu di Brazil.
Indonesia tidak ketinggalan. Sebagai negara dengan warga yang menggunakan perangkat telepon pintar per hari paling tinggi sedunia (APP Annie 2018, seperti dikutip oleh CNBC), nalar manusia Indonesia sedang dipertaruhkan.
Gempuran berita hoaks pada tahun politik dan dibumbui dengan penyedap rasa bernama agama, membuat nalar manusia Indonesia diuji.