JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti departemen politik dan perubahan sosial dari lembaga CSIS, Arya Fernandes, mengungkapkan ada empat faktor yang menentukan tingkat partisipasi pemilih di Pemilu 2019, khususnya pada pemilihan presiden (Pilpres).
Arya menjelaskan, faktor pertama adalah sistem pemilu. Menurutnya, sistem pemilu yang diterapkan di Indonesia saat ini adalah menggunakan sistem proporsional terbuka.
"Kalau kita lihat, sistem proporsional terbuka itu membuat partisipasi pemilih akan lebih tinggi jika menggunakan sistem proporsional tertutup. Indonesia, menggunakan sistem proporsional terbuka," ujar Arya dalam sebuah diskusi di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (27/2/2019).
Namun demikian, lanjutnya, ada sejumlah pekerjaan rumah yang perlu diperbaiki oleh DPR yang merumuskan undang-undang Pemilu, salah satunya ambang batas pencalonan presiden.
Baca juga: Dirjen Dukcapil: Kalau Bisa E-KTP WNA Dicetak setelah Pemilu
Sebab, tutur Arya, tren partisipasi pemilih untuk pilpres sejak 2004 hingga 2014 mengalami penurunan.
Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), tingkat partisipasi pemilih pilpres pada 2004 yakni sebesar 79,76 persen pada putaran pertama dan 74,44 persen di putaran kedua, 2009 (72,09 persen), dan 2014 (70 persen).
"Dugaan saya karena peserta calon presiden. Pada Pilpres 2004, kita punya lima calon, kemudian pada 2009 ada tiga calon, dan di 2014 jadi dua calon. Belajar dari Pilpres 2014, masyarakat tidak memiliki alternatif calon karena hanya ada dua saja paslonnya," papar Arya.
"Ketika mereka tidak punya alternatif, mereka mungkin akan golput. Tapi ketika calonnya banyak, maka pemilih punya banyak alternatif. Maka itu, dugaan saya untuk menaikkan partisipasi pemilih adalah dengan mempermudah syarat pencalonan sehingga kompetesinya terbuka," sambungnya.
Faktor kedua, seperti diungkapkan Arya, yaitu isu negatif dan kampanye hitam. Baginya, faktor kedua ini bisa menurunkan tingkat partisipasi pemilih.
Baca juga: Seknas Prabowo-Sandi Bentuk Laskar Pencegahan dan Pengawasan Kecurangan Pemilu
Ia menegaskan, banyaknya hoaks dan minimnya inovasi di program paslon, maka pemilih tidak memiliki harapan dengan pemimpin Indonesia ke depan.
"Faktor ketiga adalah durasi kampanye juga perlu diperpendek. Durasi yang terlalu panjang ini melelahkan pemilih," ucapnya.
Dan terakhir, ungkap Arya, yakni intergritas penyelenggara pemilu, yaitu KPU dan Bawaslu. Menurutnya, sejauh ini kedua lembaga memiliki kesan yang bagus dan positif di masyarakat.
"Saya relatif tidak mendengar isu-isu negatif soal KPU dan Bawaslu," pungkasnya.