TREN bencana alam di Indonesia yang meningkat tajam dalam 15 tahun terakhir belum mampu menempatkannya menjadi salah satu tema dalam debat calon presiden 2019.
Padahal, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat adanya peningkatan jumlah bencana yang sangat mengkhawatirkan. Jumlah bencana pada 2003 sebanyak 403 kali, kemudian meningkat tajam menjadi 2.572 kali pada 2018.
Bencana di Indonesia merupakan sebuah keniscayaan karena Nusantara terletak di antara empat lempeng (Lempeng Pasifik, Indo-Australia, Eurasia, dan Filipina) dan berada di wilayag Ring of Fire.
Selain bencana gempa bumi dan tsunami, Indonesia juga dihadapkan pada ancaman bencana yang disebabkan oleh tata kelola yang buruk di sektor lingkungan dan sumber daya alam, seperti banjir, tanah longsor hingga bencana alam lainnya yang diakibatkan dari dampak perubahan iklim.
Bencana gempa dan tsunami di Aceh tahun 2004 dan Yogjakarta pada 2006 dapat menjadi pembelajaran untuk penanganan bencana di Indonesia.
Bukan hanya karena korban dan dampaknya yang besar, tetapi juga bagaimana cara pemerintah melakukan pendekatan berbeda di antara dua wilayah tersebut.
Berdasarkan hasil kajian lembaga Kemitraan/Partnership, pembelajaran dari Aceh dan Yogyakarta (2007), terdapat prinsip tata kelola yang harus diimplementasikan dalam penanggulangan bencana, yakni keterbukaan, partisipasi masyarakat, dan pengelolaan bantuan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Aceh dan Yogyakarta juga memberikan pelajaran akan pentingnya lembaga yang mengkoordinasi tidak hanya dalam hal penanganan bencana, tetapi juga sistem informasi, komunikasi publik dan media massa.
Fase tanggap darurat menjadi salah satu tahapan yang kerap susah dikendalikan. Korban berjatuhan, informasi simpang siur, saluran komunikasi terputus dan berita bohong di mana-mana, sementara pemerintah daerah hampir lumpuh karena juga menjadi korban.
Sebagai badan yang dibentuk berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007, BNPB harus menjadi leading sector dalam penanganan bencana di Indonesia, sebagai pusat data dan informasi yang mewakili pemerintah, sementara Kementerian lain diharap dapat menahan diri untuk tidak berkomentar dan berkoordinasi agar informasinya satu pintu.
Pada sisi lain korban sangat membutuhkan pertolongan pertama, tidak adanya komando berpotensi semakin menambah jumlah korban karena bantuan terpusat pada wilayah yang mudah terjangkau.
Pertolongan pertama di Aceh cukup kacau, selain akibat komunikasi yang terputus menyebabkan daerah-daerah yang sulit akses baik jalan maupun komunikasi semakin terpinggirkan dari penanganan, juga karena jumlah yang memerlukan pertolongan jauh lebih banyak dibanding yang menolong.
Berbeda dari Aceh, sehari setelah bencana, Presiden RI memindahkan kantornya di Yogyakarta dan selama empat hari memimpin langsung penanganan bencana.
Ini terbukti efektif mengkoordinasi lintas lembaga dan kementerian yang menangani bencana, serta menjadikan penanganan bencana lebih cepat tanggap.
Pertanyaannya kemudian, apakah Presiden harus memindahkan kantornya ke wilayah gempa agar penanganan bencana lebih efektif dan cepat? Bagaimana jika bencana terjadi di lebih dari dua daerah, mengingat negara kita rawan bencana?