JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mendesak adanya uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pasal dalam Undang-Undang Pemilu yang mengatur tentang pencetakan surat suara.
Ia mendorong supaya Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjadi pihak yang mengajukan uji materi.
Menurut Titi, dibanding warga sipil, KPU adalah pihak yang paling tepat untuk mengajukan uji materi. Sebab, penyelenggara pemilu itu punya landasan hukum yang kuat.
"Saya kira ketimbang mengandalkan masyarakat, justru negara harus menunjukkan kehadirannya dan KPU sebagai alat negara yang dibentuk konstitusi adalah institusi yang paling kuat dan punya kekuatan hukum untuk membuktikan kehadiran negara dalam melindungi hak pilih warganegara," kata Titi usai sebuah diskusi di kawasan Guntur, Jakarta Selatan, Senin (25/2/2019).
Baca juga: Ribuan Surat Suara Rusak di KPU Luwu Utara
Titi mengatakan, bisa saja warga sipil mengajukan uji materi karena mereka punya legal standing. Namun, kedudukan warga sipil tak lebih kuat secara hukum dibanding KPU.
Apalagi, sebagai penyelenggara pemilu, KPU saat ini tengah mengalami kompleksitas penyelenggaraan terkait dengan pengaturan pencetakan surat suara.
Pasal 344 ayat 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 menyebutkan, jumlah surat suara yang dicetak sama dengan jumlah pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), ditambah dengan 2 persen dari DPT per TPS.
Sebanyak 2 persen surat suara itu merupakan surat suara cadangan yang sebetulnya digunakan untuk mengganti surat suara yang kemungkinan rusak.
Pasal tersebut dinilai mengabaikan pemilih yang tercatat dalam Daftar Pemilih Tambahan (DPTb). Sebab, tak ada aturan yang menyebutkan tentang ketentuan surat suara untuk pemilih tambahan.
Menurut Titi, aturan itu bisa dibilang menyulitkan KPU untuk menyelenggarakan pemilu secara berintegritas dan profesional.
"Sangat tanpa beban jika KPU mengajukan uji materi, karena KPU didukung oleh landasan konstitusional yang kuat yang punya kedudukan hukum sebagai institusi yang dirugikan oleh pengaturan perundang-undangan," ujar Titi.
"Mengakibatkan KPU terancam tidak bisa melaksanakan tugas-tugasnya dengan berkepastian hukum, dengan akuntabel dan profesional," sambungnya.
Diberitakan sebelumnya, sebagian pemilih yang berpindah TPS terancam tak bisa menggunakan hak pilihnya.
Baca juga: Polemik Surat Suara untuk Pemilih Pindah TPS, Mendagri Sarankan Lewat PKPU
Hal ini karena terjadi kendala dalam penyediaan surat suara tambahan yang khusus diperuntukan bagi pemilih yang berpindah TPS atau pemilih 'pindah memilih'.
KPU mencatat, jumlah pemilih yang pindah TPS mencapai 275.923 pemilih. Mereka dicatat ke Daftar Pemilih Tambahan (DPTb).
Jumlah tersebut, di beberapa TPS, ternyata melebihi jumlah ketersediaan surat suara cadangan yang hanya dialokasikan sebesar 2 persen dari Daftar Pemilih Tetap (DPT) per TPS.
Angka 275.923 pemilih masih mungkin bertambah karena KPU terus melakukan penyisiran potensi pemilih yang berpindah TPS hingga 17 Maret 2019.