JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah Indonesia melalui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly menandatangani perjanjian Mutual Legal Assistance (MLA) dengan Menteri Kehakiman Swiss, Karin Keller-Sutter.
Perjanjian ini terealiasi setelah melalui dua kali putaran perundingan, di Bali pada tahun 2015 dan di Bern, Swiss, pada tahun 2017.
"Perjanjian ini merupakan bagian dari upaya Pemerintah Indonesia untuk memastikan warga negara atau badan hukum Indonesia mematuhi peraturan perpajakan Indonesia dan tidak melakukan kejahatan penggelapan pajak atau kejahatan perpajakan lainnya," ujar Yasonna melalui keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Selasa (5/2/2019).
Baca juga: Perjanjian MLA Indonesia-Swiss Disebut Bukti Keberanian Jokowi Perangi Kejahatan Pajak
Perjanjian yang terdiri dari 39 pasal ini antara lain mengatur bantuan hukum mengenai pelacakan, pembekuan, penyitaan hingga perampasan aset hasil tindak kejahatan.
Ruang lingkup bantuan timbal balik pidana yang luas ini merupakan salah satu bagian penting dalam rangka mendukung proses hukum pidana di negara peminta.
Perjanjian ditandatangani menganut prinsip retroaktif atau memungkinkan untuk menjangkau tindak pidana yang telah dilakukan sebelum berlakunya perjanjian sepanjang putusan pengadilannya belum dilaksanakan.
Baca juga: KPK Apresiasi Perjanjian MLA Indonesia-Swiss
Namun demikian, masih ada pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh Indonesia apabila perjanjian MLA tersebut ingin berjalan optimal.
Perjanjian MLA antara pemerintah Indonesia dengan negara lain dinilai tak akan berjalan maksimal jika tidak diikuti penguatan penegakan hukum yang memprioritaskan pemulihan aset (asset recovery).
Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo mengatakan, penegakan hukum yang mempriotaskan pemulihan aset oleh Kepolisian, Kejaksaan Agung, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih lemah.
"Penegakan hukum yang tidak meletakkan prioritasnya pada asset recovery dalam konteks pemberantasan korupsi, itu pasti tidak akan pernah menimbulkan efek jera," kata Adnan dalam diskusi bertajuk 'Urgensi Mutual Legal Assistance antara Indonesia dan Swiss', di Kantor ICW, Jakarta, Kamis (14/2/2019).
Menurut dia, kualitas dan kuantitas penegakan hukum berbasis pemulihan aset bisa dilihat dari penanganan perkara.
Baca juga: Ada Perjanjian MLA, LPS Siap Buru Aset Eks Bank Century ke Swiss
Adnan mencontohkan data ICW tentang tren penanganan korupsi tahun 2018: 454 kasus korupsi ditangani oleh Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK.
"Apakah dalam penanganan perkara penegak hukum juga menjerat dengan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU) atau gratifikasi, itu salah satu cara. Dari 450 kasus itu, hanya 7 kasus dijerat kejahatan TPPU, itu pun 1 Kejaksaan, 6 KPK, dan Kepolisian tidak melakukan itu," kata dia.
"Jadi kalau kita mengaitkan pada data ini, kita sendiri keropos di dalam. Yang di dalam negeri aja alih-alih untuk mengejar aset tidak dilakukan, apalagi mengejar ke luar negeri," sambung Adnan.
Selain itu, berdasarkan data ICW tentang tren vonis kasus korupsi, upaya mendorong strategi penegakan hukum berbasis pemulihan aset masih lemah.
Baca juga: Perjanjian MLA Indonesia-Swiss Terjalin, KPK Harap Peningkatan Kapasitas Penegak Hukum