JAKARTA, KOMPAS.com - Masyarakat sering diminta untuk jangan membeli kucing dalam karung setiap pelaksanaan pemilu, termasuk pemilihan legislatif. Para pemilih disarankan untuk mengenali calon legislatif sebelum mencoblos.
Oleh karena itu, baik Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu dan para peserta pemilu harus membuka akses informasi untuk masyarakat.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan hal ini adalah dasar dari pelaksanaan demokrasi.
"Salah satu standar pemilu demokratis bebas dan adil itu adalah pemilih yang terbebas dari kebohongan informasi yang menyesatkan," ujar Titi kepada Kompas.com, Kamis (7/2/2019).
Sayangnya, ada ribuan caleg yang tidak membuka data dirinya kepada publik. Titi bertanya bagaimana masyarakat bisa terhindar dari informasi menyesatkan jika calegnya tak membuka diri.
Baca juga: Rahasiakan Data Pribadi, Mengapa Caleg Tak Mau Terbuka Pada Konstituennya?
Caleg dinilai tidak ikut berperan dalam keterbukaan informasi dalam penyelenggaraan pemilu. Padahal sebagai calon yang ingin dipilih, mereka seharusnya terbuka pada konstituen.
"Tujuan dia ikut pemilu kan agar bisa dipilih. Nah untuk bisa dipilih kan dia harus meyakinkan pemilih dengan visi misi, program dan track recordnya," ujar Titi.
Sebenarnya data diri yang ditutupi bukan data-data sensitif, melainkan data wajar seperti riwayat pendidikan, pekerjaan, organisasi, status khusus, motivasi, dan target atau sasaran para caleg. Data tersebut dinilai bisa menolong konstituen untuk memilih caleg mereka.
"Katanya kita jangan beli kucing dalam karung, makanya kita pakai sistem proporsional terbuka. Tetapi itu enggak ada maknanya kalau kita enggak bisa tahu riwayat hidup calon, rekam jejaknya, dan kita hanya disuguhi baliho-baliho saja," kata Titi.
Baca juga: 2.049 Caleg Enggan Buka Data Pribadinya ke Publik
Pada akhirnya, masyarakat tidak mendapatkan haknya untuk mengetahui rekam jejak caleg. Titi mengatakan sesungguhnya caleg yang tak mau terbuka justru sedang mencederai hak konstituennya.
Padahal di saat yang bersamaan, masyarakat diminta untuk tidak golput. Masyarakat diminta memilih, tetapi tidak diberi kemudahan untuk mengakses informasi calon wakilnya di parlemen.
"Kalau ingin menekan golput dan memastikan pemilih optimis soal proses pemilu, ya penuhi hak pemilih untuk tahu info soal caleg. Supaya mereka bisa membuat keputusan dengan informasi yang cukup benar dan memadai," ujar Titi.
Berdasarkan catatan Perludem, 2.043 dari 7.992 atau 25,56 persen caleg tidak mau membuka data dirinya ke publik. Jumlah tersebut terdiri dari 1.162 caleg laki-laki dan 3.203 caleg perempuan.