JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Philips J Vermonte memandang, elite politik dan media massa merupakan pihak paling bertanggung jawab dalam literasi informasi.
Sebab, jelang Pemilu 2019, masyarakat ikut terjerumus memperdebatkan hal-hal yang tidak substansial.
"Yang memiliki tanggung jawab lebih banyak mengedepankan reason argument segala macam itu elite politik dan media," kata Philips di Menara Kompas, Rabu (6/2/2019) malam.
Oleh karena itu, elite politik dan media massa seharusnya bisa memilah secara jernih mana yang layak diperdebatkan dan sebaliknya.
Ia mencontohkan, perdebatan soal dugaan penggunaan konsultan asing pada pasangan calon presiden dan wakil presiden. Menurut dia, perdebatan tersebut tak perlu diperpanjang di hadapan masyarakat.
Baca juga: Kisah Hamzah Sarjana Pengayuh Becak, di Balik Topeng hingga Menjadi Pegiat Literasi
Sebab, keberadaan konsultan politik pada dasarnya merupakan kebutuhan yang wajar bagi kandidat politik di mana pun.
"Jadi buat saya itu bukan isu substansial dijadikan bahan perdebatan, toh konsultan itu kan yang menentukan kandidatnya dengan visi-misinya sendiri," kata dia.
Philips mengingatkan, tingkatan pemahaman setiap orang dalam memahami, mencerna dan mengevaluasi informasi berbeda-beda. Masyarakat, kata dia, juga tak terlalu memfokuskan diri pada persoalan politik. Situasi itu membuat masyarakat bisa memandang persoalan secara parsial.
Akibatnya, jika persoalan dipandang parsial dan literasi rendah, akan menimbulkan konflik.
"Paling penting itu literasinya, proses literasi buat masyarakat agar ada etika dan adabnyalah. Pemerintah, media dan lain-lain harus mengajarkan literasi, supaya orang tahu bahwa hal yang sebaiknya dilakukan atau tidak dilakukan. Sehingga buat masyarakat ada proses pembelajaran," katanya.
Di sisi lain, ia menekankan pentingnya sosialisasi aturan. Salah satunya seperti Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Saat ini, kata dia, UU ITE terkesan dijadikan sebagai palu untuk memukul pihak lawan yang bersebrangan.
"Segala macam dibawa ke hukum, pilkada apa-apa lari ke hukum, hoaks lari ke hukum. Sebetulnya enggak masuk akal juga, polisi, misalnya harus mengatasi segala macam aduan ratusan, ya akibatnya begitu," katanya.
Baca juga: Tantangan Literasi Era Digital dan Peribahasa Kebo Nyusu Gudel
Seharusnya, substansi aturan dalam UU ITE diperkuat melalui sosialisasi. Hal itu agar publik bisa menjaga dirinya tak terjerumus menabrak aturan hukum. Publik, kata dia, perlu membangun kesadaran taat hukum.
"Ada hukum yang harus dihormati bersama sehingga seharusnya sebelum melakukan pelanggaran dia udah tahu aturan. Yang sekarang terjadi saling mengadu, itu kan menurut saya agak konyol," tuturnya.
"Hukumnya harus ditegakkan, mengadukan seseorang dan harus ditangkap saya setuju karena hukumnya begitu, tapi kan dalam jangka panjanh bukan bagaimana ditangkap tapi orang dikasih literasi informasi dan media lebih banyak," pungkas Philips.