Padahal, tekanan rezim penguasa sangatlah kuat ketika itu. Aparat menjadi alat pemerintah meredam suara kritis rakyat. Media massa utama pun dalam genggaman penguasa. Harapan masyarakat pun tinggal di pundak para kaum muda, para mahasiswa yang terbebas dari kepentingan politik praktis.
Pergerakan mahasiswa dari berbagai kampus dan berbagai kota, yang bermula di akhir 1997, semakin membesar dari waktu ke waktu, terutama ketika elemen mahasiswa Universitas Indonesia memutuskan untuk kembali turun ke lapangan sejak akhir Februari 1998.
Semakin banyak kampus dari berbagai kota yang berani untuk ikut serta dalam gerakan ini. Puncaknya adalah ketika empat mahasiswa Trisakti menjadi korban timah panas di pertengahan Mei 1998.
Dimulailah Orde Reformasi, menggantikan Orde Baru, dengan kaum muda yang menjadi motor pergantian orde ini, seperti era-era sebelumnya.
Beranjak ke zaman now. Tahun 2019 ini, Indonesia bakal menggelar kembali hajatan besar yang menentukan nasib bangsa ini lima tahun ke depan, yaitu pemilu. Pemilu 2019 merupakan tonggak sejarah penting, karena pertama kalinya pilpres dan pileg dilaksanakan secara serentak.
Kaum muda pun diyakini memiliki peranan penting dan strategis di perhelatan akbar ini. Pertama, berdasarkan data dari BPS, jumlah kaum muda, tepatnya yang berusia 20-39 tahun, mencapai 86 juta.
Belum lagi jika ditambah pemilih pemula menurut DP4 Kemendagri (berusia 17 tahun pada tanggal 1 Januari 2018 sampai dengan 17 April 2019) sebanyak 5.035.887 jiwa. Jumlah ini cukup signifikan jika dibandingkan dengan total pemilih tetap.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sendiri telah mengumumkan Daftar Pemilih Tetap Hasil Perbaikan 2 (DPTHP2) 15 Desember 2018 lalu. Hasil pendataan KPU, total pemilih sejumlah 192.828.520 orang, terdiri dari pemilih laki-laki 96.271.476 orang dan pemilih perempuan 96.557.044 orang.
Dengan demikian, dari segi jumlah saja, kaum muda mendekati setengah dari jumlah seluruh pemilih di tahun depan.
Kedua, setengah dari populasi Indonesia, menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pada tahun 2017 telah mengakses internet, baik melalui komputer desktop, perangkat mobile, maupun perangkat lainnya. Dan, menurut data We Are Social, hampir seluruh pengguna internet di Indonesia menggunakan media sosial.
Penetrasi internet dan media sosial yang tinggi ini membuat media sosial memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini publik. Sedangkan kaum muda, termasuk kelompok yang sangat aktif, kalau tidak bisa dibilang mendominasi, percakapan di media sosial.
Sehingga, bagaimanapun, jika bisa mendominasi pembicaraan kaum muda, dengan sendirinya narasi yang kita gulirkan bakal cepat menjadi viral dan berperan besar dalam pembentukan opini publik.
Dalam konteks pilpres dan pileg 2019, kaum muda pun termasuk aktif dalam membicarakan dan cepat berbagi berita serta cerita seputar perpolitikan nasional terkini.
Ketiga, kaum muda tidak hanya aktif di media sosial, tetapi juga tidak sedikit yang terjun langsung ke gelanggang politik.
Bahkan, keberadaan politikus-politisi muda yang aktif dalam perjuangan memperebutkan kursi parlemen, baik di tingkat kabupaten/kota, provinsi, maupun di tingkat nasional atau pusat, membuat kaum muda semakin menjadi sorotan. Apalagi hadirnya wajah-wajah muda dan segar di ring inti kedua pasangan capres dan cawapres yang berkontestasi di Pilpres 2019 ini.
Lini masa media sosial, media online, bahkan layar kaca, tak pelak dihiasi banyak politisi muda. Kondisi yang belum pernah kita temui di pemilu-pemilu sebelumnya. Siap tidak siap, jagad politik Indonesia kini kental diwarnai pergerakan kaum muda.
Peran sentral kaum muda di pusaran politik pilpres dan pileg 2019, tidak membuat jalan politisi muda menjadi lebih mudah. Justru para politisi muda mesti menempuh jalan terjal di jagad politik Indonesia saat ini. Ada beberapa tantangan besar yang mesti dihadapi.
Pertama, masih ada persepsi negatif publik terhadap kapabilitas politisi muda. Politisi muda dianggap kurang berpengalaman dan masih terlalu dini untuk tampil di depan.
Masih perlu jam terbang lebih untuk bisa memimpin. Bahkan, label politisi karbitan seringkali dilekatkan pada politisi muda.
Kedua, kondisi ini diperparah oleh munculnya sekelompok politisi muda yang seringnya mencari sensasi dan mengumbar pernyataan kontroversial, tanpa ada substansi.
Hanya sekedar bersuara nyaring tanpa isi untuk mengerek popularitas dalam waktu singkat. Berbangga hati dengan membuat gaduh, bukannya membuat teduh.
Dan, menyedihkannya, karena mereka memiliki akses kuat ke media massa dan memiliki pengikut cukup banyak di media sosial, pernyataan kontroversial yang tidak mendidik ini pun menyebar luas dengan cepat. Membuat keruh dunia maya, dan membuat bingung masyarakat.
Padahal, selaku politisi, selaku bagian dari partai politik, mengedukasi masyarakat tentang politik bermartabat, politik yang menjunjung tinggi etika, memberikan pencerahan kepada publik, bukannya membuat bingung, merupakan bagian dari tugas mereka.
Bukan sekadar tampil dan menjual sensasi, sambil berharap ada jabatan yang melekat pasca-pileg dan pilpres karena merapat di kubu yang tepat.
Jika fenomena seperti ini terus berlanjut, kepercayaan publik kepada politisi muda bisa merosot drastis. Malah mendorong publik untuk apolitis, menjauh dari riuh rendah dunia politik.
Di sisi lain, jika gejala ini sepertinya mendapatkan tempat di masyarakat, bisa mendorong politisi muda lainnya menempuh jalur yang sama. Dan, rakyat serta negara ini yang menjadi korban. Korban politik sensasi yang kering substansi. Membuat demokrasi kita jalan di tempat.