JAKARTA, KOMPAS.com — Mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi Abdurachman mengakui pernah merobek dokumen putusan perkara yang ada di rumahnya.
Robekan dokumen itu kemudian dibuang di tempat sampah yang berada di kamar mandi di dalam kamar tidurnya. Menurut Nurhadi, perobekan dokumen itu terjadi pada 19 April 2016.
"Dokumen pertama agak tebal, fotokopi putusan perkara. Saya baca halaman depan masalah Bank Danamon. Kemudjan, satu lembar saya buka ada catatan ketikan poin 1-3, mengenai nomor perkara," ujar Nurhadi saat bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (21/1/2019).
Baca juga: Eddy Sindoro Bayar Konsultan untuk Bersihkan Citra Negatif Nurhadi di Media Massa
Dia bersaksi untuk terdakwa mantan petinggi Lippo Group, Eddy Sindoro.
Selanjutnya, menurut Nurhadi, pada tengah malam penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendatangi rumahnya untuk melakukan penggeledahan.
Penggeledahan itu terkait kasus suap yang melibatkan panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution.
Saat penyidik datang, dia dan istrinya sedang dalam kondisi tidur. Kemudian, karena pintu kamar diketuk, istri Nurhadi, Tin Zuraida, Bangun dan memeriksa kehadiran penyidik KPK.
Baca juga: Mantan Sekretaris MA Nurhadi Jadi Saksi Eddy Sindoro
Namun, menurut Nurhadi, sebelum menemui penyidik, Tin memberitahu ingin buang air kecil terlebih dulu. Saat ingin membuang tisu, Tin melihat potongan kertas dokumen yang telah dirobek Nurhadi.
"Dia tanya, saya bilang itu putusan. Lalu robekan kertas itu diambil dan ditaruh ditaro di badannya," kata Nurhadi.
Menurut Nurhadi, karena mengetahui ada kedatangan penyidik KPK, istrinya secara spontan mengambil dua genggam robekan kertas di tempat sampah dan menyembunyikannya di badan.
"Itu sempat saya tegur istri saya, kan itu tidak ada kaitan sama kamu, kenapa disimpan," kata Nurhadi.
Baca juga: Mantan Sekretaris MA Disebut Minta Uang Tenis kepada Eddy Sindoro melalui Panitera PN Jakpus
Nurhadi membantah dokumen yang dirobek itu ada kaitannya dengan perkara hukum yang melibatkan Lippo Group.
Dalam kasus ini, Eddy Sindoro didakwa memberikan suap sebesar Rp 150 juta dan 50.000 dollar Amerika Serikat kepada panitera PN Jakarta Pusat, Edy Nasution.
Menurut jaksa, uang tersebut diberikan agar Edy menunda proses pelaksanaan aanmaning terhadap PT Metropolitan Tirta Perdana (PT MTP).
Suap juga sebagai pelicin agar Edy menerima pendaftaran peninjauan kembali (PK) PT Across Asia Limited (PT AAL) meskipun sudah melewati batas waktu yang ditentukan oleh undang-undang. Diduga, pengurusan perkara ini melibatkan Nurhadi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.