JAKARTA, KOMPAS.com - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menemukan adanya praktik pelanggaran terhadap hak terpidana mati untuk mendapatkan penasihat hukum.
Temuan itu didapatkan setelah ICJR menganalisis 306 putusan dari 100 kasus hukuman mati di Indonesia, dari tahun 1997 hingga 2016.
Padahal, kata anggota tim peneliti ICJR Muhamad Eka Ari Pramuditya, penasihat hukum merupakan bagian dari hak para tersangka mendapatkan proses pengadilan yang adil.
"Pertama yaitu hak penasihat hukum yang kompeten. Dalam hukum HAM internasional diatur bahwa semua orang yang diancam dengan hukuman mati berhak atas pendampingan hukum yang efektif setiap tingkatan proses pengadilan," ujar Eka dalam acara bertajuk "Menyelisik Keadilan yang Rentan: Hukuman Mati dan Penerapan Fair Trial di Indonesia", di Hotel Sari Pacific, Jakarta Pusat, Rabu (16/1/2019).
Baca juga: Indonesia Perlu Belajar dengan Iran dan Malaysia dalam Persoalan Eksekusi Mati
Ia menjelaskan, pelanggaran hak tersebut dapat dilihat dari upaya hukum yang diajukan oleh terdakwa atau terpidana.
"Salah satu indikator untuk melihat apakah penasihat hukum yang diberikan sudah kompeten atau tidak yaitu ada tidaknya upaya hukum yang dilakukan," ungkapnya.
ICJR mencatat, hanya 15 dari 118 terpidana mati yang kuasa hukumnya mengajukan nota keberatan atau eksepsi.
Selain itu, 11 pengacara dari terpidana mati tidak mengajukan pembelaan atau pleidoi dan 83 orang lainnya mengajukan.
Sementara, dalam putusan 24 terpidana mati lainnya tak tertera jelas terkait pernah atau tidak mengajukan pledoi.
Kemudian, data ICJR menunjukkan, mereka yang mengajukan memori atau kontra memori pada tahap kasasi dan banding tak berbeda jauh.
Pada proses banding, sebanyak 52 dari 111 terdakwa terdata tidak mengajukan banding.
Untuk tahap kasasi, terdapat 50 terdakwa yang tidak mengajukan berbanding 48 yang mengajukan.
Baca juga: ICJR Ingin Tahu Kebijakan Capres-Cawapres soal Hukuman Mati
Dalam kasus hukuman mati di Indonesia, bahkan ada pengacara terpidana mati kasus pembunuhan Yusman Telaumbanu, yang justru meminta hakim agar kliennya dihukum mati.
Berdasarkan hasil analisis ICJR, hal itu dapat terjadi karena peraturan di Indonesia belum mengatur hal tersebut dengan ketat.
"Hukum Indonesia, setidaknya yang diatur dalam KUHAP, belum memadai dalam memberikan pengaturan yang memastikan jaminan pembelaan hukum bagi orang-orang yang terancam hukuman mati secara efektif," terang dia.
Baca juga: JEO-Menuju Debat Perdana Pilpres 2019: HAM-Korupsi-Terorisme
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.