JAKARTA, KOMPAS.com - Sepanjang 2018, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) telah menangani sebanyak 300 kasus konflik agraria yang terjadi di 16 provinsi.
Dari 300 konflik tersebut, YLBHI menemukan 367 pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan luasan lahan konflik mencapai 488.404,77 hektar.
Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan YLBHI Siti Rakhma Mary Herwati mengatakan, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, Jawa Tengah, menangani kasus konflik agraria paling banyak, yakni 51 kasus.
"Kami menangani sekitar 300 kasus konflik agraria di 16 provinsi. LBH Semarang mencatat jumlah konflik yang tertinggi," ujar Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan YLBHI Siti Rakhma Mary Herwati saat memaparkan Laporan Hukum dan HAM 2018 di kantor YLBHI, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (8/1/2019).
Baca juga: Konflik Agraria Masih Jadi Persoalan di 4 Tahun Pemerintahan Jokowi
Menurut Rakhma, konflik agraria terjadi di berbagai sektor seperti pertanian, permukiman, perkebunan, kehutanan, pesisir, tambang, infrastruktur dan energi.
Sementara pelaku pelanggaran HAM terkait konflik agraria didominasi oleh korporasi atau perusahaan dan pemerintah daerah.
Catatan YLBHI sebanyak 84 kasus pelanggaran HAM dalam konflik agraria dilakukan oleh korporasi dan 73 kasus melibatkan Pemda.
"Sektor yang paling banyak yakni pertanian atau permukiman, kemudian perkebunan dan hutan setelah itu pesisir, tambang, waduk dan energi. Sementara, aktor pelaku paling banyak adalah korporasi," kata Rakhma.
Tak tersentuh reforma agraria
Rakhma menilai program reforma agraria yang tengah dijalankan pemerintah tidak dapat menyelesaikan atau meredam konflik yang terjadi. Sebab, reforma agraria yang digagas tidak berada bukan reforma agraria dalam konteks penyelesaian konflik.
Rakhma menjelaskan, pelanggaran HAM di konflik agraria bermula dari perampasan lahan masyarakat adat oleh perusahaan swasta maupun BUMN dengan sertifikat hak guna usaha (HGU).
Baca juga: Laporan Konflik Agraria Capai 334 Kasus, KSP Dorong Terbitnya Inpres
Sementara konfllik-konflik agraria yang ditangani LBH tidak tersentuh. Artinya, tanah-tanah konflik yang bersertifikat HGU dan terlantar serta belum dilepaskan pemiliknya, tidak menjadi obyek reforma agraria.
"Karena hanya tanah-tanah yang tergolong clean and clear yang diurus. Izin-izin itu sudah berakhir kemudian lahannya tidak kunjung dikembalikan karena reforma agraria yang digagas oleh pemerintah itu bukan reforma agraria dalam konteks penyelesaian konflik," kata Rakhma.
"Konfliknya sampai sekarang tidak selesai dan hak masyarakat atas tanah tidak pernah kembali," tuturnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.