Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

2 Januari 1973, Izin Cetak "Sinar Harapan" Dicabut karena Beritakan RAPBN

Kompas.com - 02/01/2019, 12:58 WIB
Bayu Galih

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Tanggal 2 Januari 1973 menjadi catatan hitam dalam dunia pers Indonesia. Sebab, saat itu pemerintah mencabut izin cetak terhadap Sinar Harapan.

Pencabutan izin cetak diberikan kepada Sinar Harapan setelah surat kabar itu menulis Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 1973-1974 dalam edisi 30 Desember 1972.

Dilansir dari dokumentasi Harian Kompas, pencabutan izin cetak terhadap Sinar Harapan dilakukan berdasarkan instruksi Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban atau Pangkopkamtib, serta Surat Keputusan Pelaksana Khusus Panglima Kopkamtib Daerah Jakarta Raya.

Berita Sinar Harapan yang menulis anggaran 1973-1974 sebesar Rp 826 miliar dianggap pemerintah sebagai pelanggaran informasi dan membocorkan rahasia negara.

Saat itu, rancangan APBN memang akan disampaikan Presiden Soeharto di hadapan DPR pada 8 Januari 1973.

Tidak hanya pencabutan izin cetak, pemerintah juga berupaya menelusuri pembocor RAPBN yang memberikan informasinya kepada Sinar Harapan. Sejumlah wartawan Sinar Harapan bahkan diperiksa Kejaksaan Agung.

Baca juga: Koran Sin Po, Istilah Indonesia, dan Publikasi Pertama Indonesia Raya

Perihal kebebasan pers

Menteri Luar Negeri Adam Malik mengatakan bahwa Sinar Harapan melakukan pelanggaran kesepahaman atau understanding mengenai RAPBN yang tidak boleh disiarkan sebelum waktunya.

Adam Malik membantah bahwa pencabutan izin cetak Sinar Harapan merupakan bentuk pelanggaran terhadap kebebasan pers. Sebab, kondisi pers di Indonesia dianggap berbeda dengan negara lain, seperti Inggris, yang dapat menulis hal sama yang dilakukan Sinar Harapan.

Saat itu, pemerintah memang hanya mencabut izin cetak dan bukan izin terbit. Izin cetak merupakan wewenang Laksus Pangkopkamtib daerah. Sedangkan, izin terbit dikeluarkan oleh Departemen Penerangan.

Meski begitu, pencabutan izin cetak juga berdampak tidak dapat terbitnya suatu media.

Baca juga: Dewan Pers: Media Massa Jangan Partisan

Tidak hanya itu, Persatuan Wartawan Indonesia juga menilai bahwa berita Sinar Harapan sebagai bentuk "contempt of parliament" atau penghinaan terhadap DPR. Sebab, semestinya pemerintah membacakan RAPBN di hadapan DPR.

Namun, tindakan pemerintah yang mencabut izin cetak mendapat kecaman sejumlah lembaga sipil. Apalagi, pencabutan izin cetak tidak dilakukan berdasarkan putusan pengadilan.

Adnan Buyung Nasution yang waktu itu menjabat Direktur Lembaga Bantuan Hukum menilai bahwa Sinar Harapan tidak semestinya dikenai sanksi pencabutan izin cetak.

Menurut Buyung, tidak ada aturan hukum atau undang-undang yang dilanggar Sinar Harapan dalam pemberitaan dalam terbitan tahun XII Nomor 3786 itu.

Buyung menilai bahwa pencabutan izin cetak dapat menjadi preseden yang tak baik bagi demokrasi. Tindakan Orde Baru ini dianggap Buyung sama seperti Orde Lama di bawah pimpinan Presiden Soekarno yang berlaku sewenang-wenang atas nama Undang-undang Keadaan Darurat Perang atau Staat van Oorlog en Beleg (SOB).

Jika Sinar Harapan melakukan pelanggaran, menurut Buyung, yang harus diberlakukan adalah pelanggaran kode etik dan moral. Pemerintah pun tidak bisa langsung memberi sanksi, sebab yang harus turun tangan adalah Dewan Kehormatan Pers.

Setelah polemik beredar cukup lama, pemerintah akhirnya kembali memberikan izin cetak kepada Sinar Harapan pada 12 Januari 1973. Tidak ada penjelasan mengapa izin cetak itu akhirnya diberikan pemerintah.

Dalam keputusannya, pemerintah hanya menyebut "terdapat cukup alasan untuk memberikan izin percetakan atas surat kabar".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

KPU Batasi 600 Pemilih Tiap TPS untuk Pilkada 2024

KPU Batasi 600 Pemilih Tiap TPS untuk Pilkada 2024

Nasional
Dianggap Sudah Bukan Kader PDI-P, Jokowi Disebut Dekat dengan Golkar

Dianggap Sudah Bukan Kader PDI-P, Jokowi Disebut Dekat dengan Golkar

Nasional
PDI-P Tak Pecat Jokowi, Komarudin Watubun: Kader yang Jadi Presiden, Kita Jaga Etika dan Kehormatannya

PDI-P Tak Pecat Jokowi, Komarudin Watubun: Kader yang Jadi Presiden, Kita Jaga Etika dan Kehormatannya

Nasional
Menko Polhukam: 5.000 Rekening Diblokir Terkait Judi Online, Perputaran Uang Capai Rp 327 Triliun

Menko Polhukam: 5.000 Rekening Diblokir Terkait Judi Online, Perputaran Uang Capai Rp 327 Triliun

Nasional
Golkar Sebut Pembicaraan Komposisi Menteri Akan Kian Intensif Pasca-putusan MK

Golkar Sebut Pembicaraan Komposisi Menteri Akan Kian Intensif Pasca-putusan MK

Nasional
KPU: Sirekap Dipakai Lagi di Pilkada Serentak 2024

KPU: Sirekap Dipakai Lagi di Pilkada Serentak 2024

Nasional
Pasca-Putusan MK, Zulhas Ajak Semua Pihak Bersatu Wujudkan Indonesia jadi Negara Maju

Pasca-Putusan MK, Zulhas Ajak Semua Pihak Bersatu Wujudkan Indonesia jadi Negara Maju

Nasional
Temui Prabowo di Kertanegara, Waketum Nasdem: Silaturahmi, Tak Ada Pembicaraan Politik

Temui Prabowo di Kertanegara, Waketum Nasdem: Silaturahmi, Tak Ada Pembicaraan Politik

Nasional
Momen Lebaran, Dompet Dhuafa dan Duha Muslimwear Bagikan Kado untuk Anak Yatim dan Duafa

Momen Lebaran, Dompet Dhuafa dan Duha Muslimwear Bagikan Kado untuk Anak Yatim dan Duafa

Nasional
Deputi KPK Minta Prabowo-Gibran Tak Berikan Nama Calon Menteri untuk 'Distabilo' seperti Era Awal Jokowi

Deputi KPK Minta Prabowo-Gibran Tak Berikan Nama Calon Menteri untuk "Distabilo" seperti Era Awal Jokowi

Nasional
Usul Revisi UU Pemilu, Anggota DPR: Selama Ini Pejabat Pengaruhi Pilihan Warga Pakai Fasilitas Negara

Usul Revisi UU Pemilu, Anggota DPR: Selama Ini Pejabat Pengaruhi Pilihan Warga Pakai Fasilitas Negara

Nasional
KPU Mulai Rancang Aturan Pemutakhiran Daftar Pemilih Pilkada 2024

KPU Mulai Rancang Aturan Pemutakhiran Daftar Pemilih Pilkada 2024

Nasional
Waketum Nasdem Ahmad Ali Datangi Rumah Prabowo di Kertanegara

Waketum Nasdem Ahmad Ali Datangi Rumah Prabowo di Kertanegara

Nasional
Sebut Hak Angket Masih Relevan Pasca-Putusan MK, PDI-P: DPR Jangan Cuci Tangan

Sebut Hak Angket Masih Relevan Pasca-Putusan MK, PDI-P: DPR Jangan Cuci Tangan

Nasional
Bicara Posisi Politik PDI-P, Komarudin Watubun: Tak Harus dalam Satu Gerbong, Harus Ada Teman yang Mengingatkan

Bicara Posisi Politik PDI-P, Komarudin Watubun: Tak Harus dalam Satu Gerbong, Harus Ada Teman yang Mengingatkan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com