JAKARTA, KOMPAS.com --Ketua Setara Institute Hendardi menyoroti pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang masih menyisakan penyelesaian delapan perkara pelanggaran HAM berat masa lalu.
Kedelapan perkara itu, yakni peristiwa 1965-1966, peristiwa penembakan misterius 1982-1985, peristiwa Talangsari 1989, peristiwa penghilangan orang secara paksa, kerusuhan Mei 1998, peristiwa Trisakti, tragedi Semanggi I dan II, peristiwa Wasior serta Wamena, Papua.
"Tidak ada perbaikan signifikan di dalam hal upaya pemerintah dalam menuntaskan masalah penegakan HAM," ujar Hendardi dalam acara peluncuran buku Catatan Hukum Akhir Tahun 2018 milik PDI Perjuangan di Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (20/12/2018).
Baca juga: Tak Takut Isu HAM di Debat Pertama, Tim Prabowo Justru Ingin Tagih Janji Jokowi
Presiden Jokowi hanya menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2005 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun 2015-2019. Menurut Hendardi, materi Perpres itu lebih mirip program kerja lembaga kajian, bukan rencana strategis pemerintah menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat.
Selebihnya, pemerintah hanya menginisiasi ide rekonsiliasi tanpa dilaksanakan jalur yudisial. Tentu, ide tersebut menjadi kontroversi, terutama bagi keluarga pelanggaran HAM.
Ia pun berharap isu penuntasan kasus HAM masa lalu menjadi agenda politik Jokowi yang kini maju kembali sebagai calon presiden pada Pilpres 2019.
Baca juga: KPU Usulkan 14 Tema Debat Capres, dari Ekonomi hingga HAM
Sebelumnya, Koordinator Staf Khusus Presiden Teten Masduki mengatakan bahwa aktivis HAM saat ini cenderung fokus pada sebatas isu hak sipil politik. Khususnya isu pelanggaran HAM masa lalu.
Padahal, menurut Teten, pemenuhan hak asasi manusia berkaitan juga dengan pemenuhan atas kehidupan yang layak, mudahnya akses kesehatan dan pendidikan bagi masyarakat.
Mengenai hal itu sendiri, Hendardi menampiknya. Ia mengakui bahwa HAM bukan terbatas di hak sipil politik saja, melainkan juga hal-hal yang disebutkan Teten. Namun, persoalan kasus HAM masa lalu dinilai sebagai persoalan yang hingga saat ini belum selesai. Maka, harus didorong terus menerus.
"Saya kira kenapa kami menyoroti itu (kasus pelanggaran HAM), bukan terbatas pada bisang sipil dan politik saja. Di manapun di dunia ini, hak sipil politik itu menjadi perhatian utama. Karena di situ menyangkut hak warga negara dan pelanggaran HAM yang tergolong berat yang di Indonesia ini belum terselesaikan," ujar Hendardi.
"Jadi sebaiknya, pemerintah bukan membalas dengan mengatakan seolah-olah pembela HAM hanya mengurus hak sipil dan politik. Tapi sebaiknya menyelesaikan kasus-kasus HAM itu," lanjut dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.