JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman menyebut, kotak suara berbahan dasar karton atau karton kedap air bukan kali pertama digunakan untuk kepentingan pemilu.
Kotak suara berbahan dasar karton, kata Arief, telah digunakan sejak Pilkada 2015, berlanjut ke Pilkada 2017, dan terakhir Pilkada 2018.
Arief mengatakan, kotak suara berbahan dasar aluminium mulai ditinggalkan penggunaannya secara bertahap sejak 2014.
Hal itu lantaran kotak suara berbahan aluminium sudah banyak yang rusak dan tidak bisa digunakan kembali.
Baca juga: Ketua KPU: Kotak Suara Karton Sudah Dipakai Pilpres 2014 dan 3 Pilkada
"Sudah banyak yang rusak, sudah enggak bisa dipakai kembali, jumlahnya sudah jauh berkurang, ada yang hilang ada yang rusak," kata Arief di kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (17/12/2018).
Seiring berjalannya waktu, kotak suara tersebut jumlahnya terus berkurang. Ada yang penyok, lepas sekrup dan pengaitnya, hingga hangus karena dibakar.
Pada Pemilu 2009 kekurangan kotak suara ditutup menggunakan kotak suara berbahan dasar aluminium.
Baca juga: Meski Berbahan Dasar Karton, Kotak Suara Pemilu Dijamin Kedap Air
Namun, sejak Pemilu 2014, kekurangan kotak suara itu ditutup menggunakan kotak suara berbahan dasar karton. Jumlahnya mencapai 40-50 persen.
"Pada Pilkada serentak 2015, 2017, dan 2018, kekurangan itu juga ditutupi dengan kotak berbahan karton," ujar Pramono.
"Jadi, bahan karton ini sudah lama dipakai, tapi baru untuk menutupi kekurangan," sambungnya.
Pramono meminta publik tidak meributkan persoalan kotak suara berbahan dasar karton. Sebab, pada kali pertama digunakan pun, tak ada yang mempermasalahkan hal tersebut.
Apalagi, karton sebagai bahan dasar kotak suara sudah disetujui oleh pemerintah dan DPR melalui mekanisme rapat dengar pendapat (RDP) dan sudah ditetapkan dalam Peraturan KPU (PKPU).