LEPAS pantai Havana di suatu hari...
Santiago hanyalah seorang nelayan tua di Kuba. Pengalaman panjang tak menjamin dirinya selalu mendapatkan tangkapan bagus. Dalam satu kesempatan, selama 84 hari melaut, ia tak mendapatkan ikan satu pun.
Kesabaran Santiago habis. Di hari ke-85, ia memutuskan mengakhiri paceklik keberuntungannya dengan melaut lebih jauh ke utara di Selat Florida menuju Gulf Stream, perairan neraka bagi kebanyakan nelayan. Itu adalah satu-satunya strategi yang belum ia coba saat itu.
Siang harinya, seekor ikan marlin raksasa menangkap umpan pancingnya. Bukan Santiago yang berhasil menarik ikan itu ke dalam perahunya, justru ikan itu yang menarik Santiago dan perahunya ke keganasan perairan Gulf Stream.
Santiago tak mau menyerah. Selama dua hari dua malam keduanya bergumul baku tarik, hingga timbul rasa respek Santigo terhadap ikan marlin raksasa itu.
Santiago yang dalam kesendiriannya memperjuangkan hidupnya hanya bisa memikirkan, manusia tak diciptakan untuk kalah. Ia bisa dihancurkan, tetapi bukan dikalahkan.
Pergumulan belum mencapai klimaksnya. Saat ikan marlin tampaknya akan menyerah kelelahan, sekumpulan ikan hiu menyerang ikan marlin itu, mencabik-cabik badannya, dan hanya menyisakan bagian kepalanya saja. Ceceran darahnya mengundang makin banyak hiu ke situ. Santiago hanya bisa terperangah akan apa yang terjadi.
Kini musuh berganti. Si nelayan tua itu menghadapi sekawanan ikan hiu ganas yang sibuk menghabisi sisa badan ikan marlinnya.
Dengan bekal tombak harpun-nya, si tua itu membunuh lima hiu dan berhasil kembali ke pantai dengan kepala ikan marlin yang tersisa. Tangannya penuh luka dan tubuhnya kelelahan.
Hari itu Santiago pulang sebagai pahlawan, setidaknya bagi dirinya sendiri.
Cara Ernest Hemingway merangkai kisah perjuangan dari seorang manusia yang rapuh dan renta yang tampaknya tak punya alasan untuk bertahan lebih lama lagi sungguh ciamik.
Kisah Santiago di "The Old Man and The Sea" menjadi novel masterpiece-nya yang memenangkan penghargaan Pulitzer (1953) dan Nobel Sastra (1954). Belum ada penulis yang memiliki rekor segemilang Hemingway.
Bukankah kisah-kisah perjuangan, seberapa pun sederhananya kisah itu, selalu menggugah perasaan kita? Tidakkah kita ini adalah santiago-santiago yang lain?
Kisah Santiago itu terulang dalam obrolan sederhana di sebuah kafe di One Brattle Square - Harvard bersama dengan Bob Marsland, doktor bio-fisika yang masih sangat muda dari MIT.
Kampus Harvard dan MIT hanya berjarak tiga kilometer. Susah untuk membedakan mana mahasiswa Harvard dan mana mahasiswa MIT. Kelas-kelas mereka juga bertukaran, begitu juga dengan profesor-profesor mereka.
Kami menanyakan bagaimana orang-orang MIT (dan juga Harvard tentunya) memiliki ketangguhan dalam hal percaya diri, pantang menyerah dalam meneliti, dan ujung-ujungnya mereka menjadi kaya raya.
Bob menertawakan kami soal "menjadi kaya". Menurutnya, "menjadi kaya" hanyalah sebuah akibat dari rasa percaya diri tersebut, bukan tujuan utamanya.
Bob bercerita soal pergumulannya dalam penelitian untuk tesis doktoralnya. MIT memiliki tuntutan tinggi akan proyek riset, dan ujung-ujungnya hasil riset harus applicable, berdampak pada kehidupan yang lebih baik, dan bisa dihargai secara pantas oleh market. Ia hampir menyerah.
Tesisnya tentang penggunaan nano-teknologi untuk menghantarkan bakteri-bakteri yang dihasilkan di laboratorium menuju ke organ-orang tubuh manusia yang sakit nyatanya tak selalu berjalan mulus.
Ini adalah gabungan beberapa cabang ilmu yang rumit. Bob tak mungkin mempelajari semuanya. Satu-satunya jalan adalah berkolaborasi dengan mahasiswa doktoral lain yang sejalan dengan proyek risetnya.
Kolaborasi berjalan baik. Tak disangka, timnya berisi sekumpulan otak brilian yang rendah hati namun percaya diri.
Bagi Bob, kisah seperti Santiago dan ikan marlinnya menjadi sangat relevan. Ungkapan Santiago bahwa manusia tak diciptakan untuk kalah rupanya benar adanya. Dihancurkan bisa (itupun bila ia sendiri mengizinkannya), namun tidak untuk dikalahkan, apalagi bila ramai-ramai keroyokan.