JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto menilai, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memerintahkan DPR mengubah Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dalam tenggat waktu tiga tahun menunjukkan keseriusan negara menghapus perkawinan usia anak.
"Putusan MK merupakan langkah positif untuk meningkatkan indeks sumber daya manusia Indonesia, khususnya masa depan anak-anak, dengan mengubah UU Perkawinan," kata Susanto kepada Kompas.com , Jumat (14/12/2018).
Baca juga: Pemohon Gugatan UU Perkawinan Menilai Presiden Bisa Keluarkan Perppu
Batas usia 16 tahun bagi perempuan untuk menikah tidak selaras dengan UU Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak.
"Dalam UU Perlindungan Anak, usia anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan," paparnya.
Maka dari itu, Pasal 7 Ayat (1) tersebut menunjukkan kerentanan anak perempuan menjadi korban dalam perkawinan di usia dini.
Baca juga: Kuasa Hukum Pemohon Sesalkan Batas Waktu Tiga Tahun Perubahan UU Perkawinan
Tak ayal, hal itu berpotensi meningkatkan jumlah angka kematian ibu dan balita.
"Lebih jauh lagi, perkawinan anak juga berdampak pada kualitas keluarga. Padahal, mereka akan mengasuh anak di kemudian hari," tutur Susanto.
"Dengan demikian, perkawinan usia anak akan berdampak terhadap performa indeks kualitas sumber daya manusia Indonesia di masa yang akan datang," lanjutnya.
Baca juga: Tenggat 3 Tahun bagi DPR untuk Mengubah UU Perkawinan Dinilai Moderat
Sebelumnya, MK menyebut Indonesia berada dalam darurat perkawinan saat para hakim MK memutuskan uji materi UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Dalam pasal tersebut tercantum bahwa adanya perbedaan batasan usia perkawinan berdasarkan jenis kelamin, yaitu 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan.
Tak pelak, timbul gugatan atas pasal tersebut yang dinilai diskriminasi dan upaya untuk menaikkan batas umur bagi perempuan dari 16 menjadi 19 tahun.