JAKARTA, KOMPAS.com - Calon wakil presiden nomor urut 01 Ma'ruf Amin mengakui berat saat harus melepaskan jabatan sebagai Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul ulama (PBNU).
Namun, hal itu harus dilakukannya karena ia telah resmi menjadi cawapres mendampingi calon presiden petahana, Joko Widodo, pada Pilpres 2019.
"Karena saya sebagai cawapres, terpaksa saya begitu ditetapkan sebagai calon saya harus mengundurkan diri, itu kekecewaan saya. Tapi karena itu peraturan, ya itu keharusan," kata Ma'ruf saat berbincang dengan wartawan di kediamannya, di Jalan Situbondo, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (12/12/2018).
"Itu aturan, saya harus pegang patuh tidak boleh menghindar, tidak boleh merekayasa, karena kita harus patuh pada aturan," lanjut dia.
Baca juga: Maruf Amin: Semoga Indonesia Bolanya Makin Bagus, Jangan jadi Tim KW Terus
Ma'ruf mengatakan, menjadi Rais Aam merupakan jabatan mulia. Dia bisa menyumbangkan ilmu agamanya untuk umat.
"Saya menikmati jabatan saya sebagai Rais Aam PBNU. Saya bisa ceramah ke mana-mana. Sebagai Rais Aam membimbing ratusan juta umat dan membangun keumatan," ujar dia.
Namun, Ma'ruf masih bersyukur karena ia tak harus melepas jabatannya sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia. Sebab, tak ada aturan yang mengharuskan itu.
Ia harus melepas jabatan setelah menang pilpres dan telah resmi menjabat sebagai wakil presiden.
Baca juga: Maruf Amin: Januari Saya Akan Turun ke Daerah-daerah
Ma'ruf bercerita bahwa ia mulai berkarir di NU dan MUI sejak dari bawah.
Di NU, dia memulai karirnya sebagai anggota GP Ansor di tingkat ranting, hingga menanjak terus dan menjadi Rais Aam PBNU.
Sementara, di MUI, Ma'ruf mengaku meniti karir dari anggota pengurus biasa, memimpin komisi fatwa, hingga akhirnya diangkat menjadi ketua umum.
"Dua jabatan ini sangat mengesankan bagi saya," kata Ma'ruf.