JAKARTA, KOMPAS.com - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers meminta kepolisian RI dan Dewan Pers untuk aktif berkomunikasi dalam menyelesaikan sengketa pers agar tidak terjadi kriminalisasi terhadap narasumber dalam sebuah berita.
"Kepolisian dan Dewan Pers harus bekerja sama menjaga kebebasan pers dan hak informasi masyarakat dalam ruang demokrasi. Kasus-kasus model kriminalisasi jangan sampai terulang lagi," kata Direktur Eksekutif LBH Pers Ade Wahyudin dalam diskusi publik bertajuk "Ancaman Kriminalisasi Narasumber dalam Berita" di Jakarta, Selasa (4/12/2018).
Baca juga: AJI Jakarta: Narasumber Jadi Takut Kalau Kriminalisasi Masih Terjadi
Kriminalisasi narasumber yang menjadi perhatian saat ini adalah kasus tanggapan Juru Bicara Komisi Yudisial (KY) Farid Wajdi terhadap penyelenggaraan turnamen tenis yang digelar Persatuan Tenis Warga Pengadilan (PTWP) MA dalam artikel di Harian Kompas pada 12 September 2018 dengan judul artikel "Hakim di Daerah Keluhkan Iuran".
Tanggapan Farid tersebut dinilai berisi tuduhan bahwa MA telah melakukan pungutan liar (pungli) sehingga 64 hakim MA melaporkannya ke kepolisian dengan dugaan kasus pencemaran nama baik.
Hingga saat ini, Farid sudah dipanggil kepolisian sebagai saksi hingga dua kali, terakhir pada 28 November 2018.
Baca juga: Yuk Donasi! Bantu LBH Pers untuk Jaga Kebebasan Pers dan Berekspresi
Menurut Ade, kasus Farid tersebut seharusnya diselesaikan sesuai dengan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 dan tidak tepat jika narasumber dipidanakan dalam sebuah sengketa pers.
"Ketika ada masalah, bukan diselesaikan pada proses pidana. Ketika sebuah karya jurnalistik dinilai merugikan salah satu pihak, ya jelas pakai UU Pers yang berlaku melakui hak koreksi dan hak jawab," paparnya.
Berdasarkan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 Pasal (1) Ayat (11) dan (12), terdapat ketentuan umum yang menyatakan bahwa hak setiap orang atau kelompok untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan yang merugikan nama baiknya sebagai hak jawab.
Baca juga: LBH Pers: Kasus Kekerasan terhadap Jurnalis pada 2016 Meningkat
Adapun hak koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliriuan informasj yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun orang lain.
"Dalam kasus Jubir KY ini, jika ada yang merasa dirugikan oleh tanggapannya, maka mereka cukup membalas tanggapan itu dengan tulisan. Tulisan dibalas dengan tulisan, bukan tulisan dibalas dengan pidana," katanya.
Maka dari itu, Ade menyarankan, lebih baik kepolisian, KY, danKompas melakukan gelar perkara sehingga muncul sebuah opini-opini baru yang menjadi dasar untuk tidak meneruskan kasus tersebut dalam ranah pidana.
Baca juga: LBH Pers: Implementasi Pasal Pencemaran Nama Baik UU ITE Tidak Manusiawi
"Saat ini belum ada komunikasi yang bagus antara Dewan Pers dengan penyidik dalam menangani kasus ini. Saya yakin ini akan selesai di proses sengketa pers," imbuh Ade kemudian.
Selain itu, Ade juga meminta pihak kepolisian, terutama penyidik, untuk mengetahui UU Pers yang berlaku secara komprehensif. Pasalnya, dalam kasus ini, narasumber adalah bagian dari proses jurnalistik yang tidak bisa dipisahkan.
"Pemahaman seperti ini harus diketahui juga oleh penyidik kepolisian bahwa dalam hal apapun terkait produk jurnalistik, itu harus berkonsultasi dengan Dewan Pers," ujarnya.