DEPOK, KOMPAS.com - Selama 10 tahun berlakunya UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) masih menyisakan beragam persoalan yang kompleks.
Salah satunya adalah partisipasi masyarakat yang kini masih enggan menuntut hak mereka dalam mendapatkan informasi dari lembaga publik.
"Masyarakat bahkan belum banyak yang tahu tentang UU KIP dan yang tahu pun tidak mau menuntut haknya meminta data ke badan publik," kata pengamat informasi publik R. Kristiawan saat menghadiri diskusi bertajuk "Tantangan Keterbukaan Informasi Publik di Era Digital," di FISIP UI, Depok, Jawa Barat, Senin (3/12/2018).
Berdasarkan UU KIP pasal 1 ayat 2, informasi publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara yang sesuai dengan UU ini serta informasi lain yang berkaitan dengan dengan kepentingan publik.
Baca juga: Pemprov Jawa Tengah Raih Penghargaan Keterbukaan Informasi Publik
Badan publik yang dimaksud dalam UU tersebut yaitu lembaga eksekutif, yudikatif, legislatif, atau badan lain yang tugas dan fungsinya berkaitan dengan penyelenggaraan negara yang menggunakaan dana dari APBN atau APBD.
Lebih lanjut, ungkap Kristiawan, salah satu penyebab masyarakat yang pasif terhadap hak mendapatkan informasi dari lembaga publik adalah karena literasi yang masih rendah.
"Mereka (masyarakat) belum tergerak menggunakan informasi itu walaupun itu untuk memperjuangkan hak-hak mereka," ucap Kristiawan.
Maka dari itu, menurutnya, Komisi Informasi Pusat (KIP) dan lembaga pemerintah lainnya yang terkait harus lebih banyak mensosialisasikan UU KIP dan birokrasi yang harus dilakukan masyarakat ketika menuntut hak mendapatkan informasi yang diinginkan.
Baca juga: Jateng Ungguli DKI dalam Keterbukaan Informasi Publik
"Tugas sosialisasi ada di KIP dan pemerintah. Mereka harus jemput bola istilahnya, jangan membebani masyarakat," imbuhnya kemudian.
Sementara itu, mantan komisioner KIP Henny S. Widyaningsih periode 2009-2017 menambahkan, alasan lain yang menghambat masyarakat menuntut haknya adalah karena birokrasi permintaan informasi yang lama di KIP.
"Kendalanya menurut saya birokrasinya yang lama, bisa 10 sampai 30 hari untuk mendapatkan data yang diminta," papar Henny.
Tak ayal, dengan keterbukaan informasi yang tidak dikelola dengan baik oleh lembaga publik, seperti dituturkan Henny, gejala hoaks makin marak dan masif di masyarakat.
Baginya, lembaga publik sejatinya siap dalam menghadapi gelombang hoaks di era digital. Salah satu caranya dengan terbuka akan informasi sehingga data-data yang sesuai fakta lebih banyak tersebar dibandingkan hoaks.
"Sebenarnya materi UU KIP sudah jelas dalan menghadapi gejala hoaks ini. Namun, KIP dan pemerintah tidak siap dan implementasi UU yang kurang," ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.