JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Komisi I DPR Effendi Simbolon mengingatkan posisi Badan Intelijen Negara (BIN) bukan untuk menyampaikan informasi kepada publik.
Effendi mengatakan, informasi yang dimiliki BIN dikhususkan hanya untuk presiden.
Hal ini dia sampaikan untuk mengkritik informasi intelijen yang beredar di masyarakar. Salah satunya soal masjid yang terpapar radikalisme.
"Kami coba juga memberikan masukan ke BIN agar jangan berkedudukan atau berposisi sebagai lembaga atau institusi negara yang lainnya. Kaya public expose gitu," ujar Effendi di kompleks parlemen, Kamis (21/11/2018).
Baca juga: BIN: 7 Perguruan Tinggi Negeri Terpapar Paham Radikal
Effendi mengatakan, rapat Komisi I yang melibatkan BIN selalu digelar tertutup. Sebab informasi yang disampaikan dalam rapat belum bisa menjadi konsumsi masyarakat. Effendi mengatakan, informasi awal dari BIN biasanya masih mentah.
Politisi PDI-P ini menuturkan, masyarakat seharusnya tidak menerima informasi yang masih mentah. Menurut Effendi, masyarakat harusnya menerima informasi dalam bentuk kebijakan pemerintah.
Sementara BIN menyampaikan informasi kepada Presiden, kemudian Presiden bersama para menteri menggodok informasi tersebut untuk menelurkan kebijakan.
Effendi pun menilai internal BIN harus dievaluasi, khususnya terkait posisi juru bicara.
"Saya harap kepala BIN juga menata itu. Jadi tidak usah ada jubir, tidak perlu. Karena ketika dia mempublikasikan (informasi intelijen) dan itu tidak tuntas, ya jadi seperti ini," kata Effendi.
Baca juga: Penjelasan BIN soal 41 Masjid di Lingkungan Pemerintah Terpapar Radikalisme
Sebelumnya, Juru Bicara Kepala BIN Wawan Hari Purwanto mengungkapkan, temuan soal 41 masjid di lingkungan pemerintah yang terpapar radikalisme.
Selain itu, Wawan juga menyampaikan informasi terkait adanya tujuh perguruan tinggi negeri (PTN) yang terpapar radikalisme.