Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Presiden Diminta Segera Beri Amnesti untuk Baiq Nuril

Kompas.com - 21/11/2018, 15:18 WIB
Reza Jurnaliston,
Inggried Dwi Wedhaswary

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat hukum tata negara dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti mendukung mereka yang meminta Presiden Joko Widodo memberikan perlindungan hukum berupa amnesti kepada Baiq Nuril Maqnun.

Baiq Nuril adalah mantan pegawai honorer di bagian tata usaha SMU 7 Mataram, NTB, yang merupakan korban pelecehan tetapi divonis bersalah oleh Mahkamah Agung melalui UU ITE.

“Kalau saya sih merasa fenomena gunung es perempuan kalau dihadapkan kasus hukum akan cenderung selalu dilihat tidak sebagai korban, tapi malah dipidanakan,” kata Bivitri saat ditemui di D'Hotel, Jakarta Pusat, Rabu (21/11/2018).

Baca juga: Kementerian PPPA Terus Dampingi Baiq Nuril

Bivitri berpendapat, amnesti adalah opsi paling memungkinkan yang bisa diambil Presiden memiliki kewenangan berdasarkan konstitusi.

Ia juga mengingatkan bahwa amnesti penting untuk pembenahan sistem hukum di Indonesia yang kerap menempatkan perempuan korban pelecehan seksual sebagai pihak yang bersalah.

“Menurut saya ini bukan intervensi, karena amnesti, abolisi, grasi, dan rehabilitasi ditentukan oleh konstitusi sebagai hak prerogratif presiden sangat dimungkinkan,” kata Bivitri.

Bivitri mengatakan, masih ada proses hukum yang dapat ditempuh Baiq, yakni peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.

“Bahwa PK (Peninjauan Kembali) diupayakan saya setuju juga karena dengan begitu isu hukumnya dituntaskan betul, tapi sebenarnya dalam hukum pidana kita memang proses hukum berhenti di kasasi,” ujar dia.

Baca juga: Baiq Nuril: Saya Lega Dengar Kabar dari Kejagung, Saya Langsung Teriak 2 Kali...

“Ya PK adalah upaya hukum luar biasa dan masih dipelajari, (mengumpulkan) novum bukti baru dan sebagainya, prosesnya bisa panjang,” lanjut Bivitri.

Menurut dia, sikap tegas Presiden Jokowi untuk memberikan dukungan nyata dan pendidikan politik buat aparat penegak hukum dan masyarakat.

“Bahwa dalam kasus perempuan berhadapan dengan hukum harusnya apa yang dilakukan sensitif. Sebenarnya MA punya Perma Nomor 3 tahun 2017, bahwa kalau perempuan berhadapan hukum harus ada perspektif jender, ini kok enggak dipakai,” kata Bivitri.

Lebih lanjut, menurut Bivitri, aparat penegak hukum belum memiliki pemahaman utuh soal perempuan ketika berhadapan dengan hukum.

“Tidak hanya di MA (Mahkamah Agung) tapi penuntutnya dari Kejaksaan, penyidiknya dari Kepolisian. Tiga aparat hukum ini belum punya paradigma pemahaman soal korban seringkali dipermasalahkan semata-mata,” kata dia.

Baca juga: Fakta Baru Kasus Nuril, Kejagung Tunda Eksekusi hingga Dukungan ala Jokowi

Ada pun, Nuril diputus bersalah setelah MA memenangkan kasasi yang diajukan penuntut umum atas putusan bebas Pengadilan Negeri Mataram.

MA memutuskan Nuril bersalah telah melanggar Pasal 27 ayat 1 UU ITE karena dianggap menyebarkan informasi elektronik yang mengandung muatan asusila.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com