JAKARTA, KOMPAS.com - Berita bohong atau hoaks merupakan sesuatu yang memiliki potensi yang berbahaya menjelang Pilpres 2019.
Kepala Divisi Humas Polri Irjen (Pol) Setyo Wasisto meminta masyarakat untuk tidak mudah percaya dengan kabar bohong alias hoaks.
Menurut Setyo, merupakan hal yang wajar para kontestan mulai memanaskan mesin-mesin politik, namun jangan sampai menciptakan perpecahan dan saling gontok-gontokan.
“Hoaks diciptakan oleh orang pintar tapi jahat dan disebarluaskan oleh orang baik tapi bodoh,” ujar Setyo saat diskusi bersama organisasi-organisasi kepemudaan dengan tema “Menangkal Hoaks Menjelang Pilpres 2019,” di Aula Perkumpulan Gerakan Kebangsaan, Jakarta Selatan, Senin (15/10/2018).
Setyo mengimbau kepada publik agar bijak melakukan klarifikasi sebelum meyakini suatu informasi.
Baca juga: Polri Yakin Hoaks Kian Marak Jelang Pemilu 2019
Selain itu, Setyo juga mengingatkan bahawa media sosial tak termasuk ruang privat, melainkan ruang publik. Maka dari itu, setiap penggunanya diminta untuk tetap berhati-hati memanfaatka media sosial.
“Kita ngumpet di mana saja ini adalah ruang publik. Jangan sekali-sekali mengunggah hal-hal tidak senonoh, tidak memenuhi etika sopan santun atau kata-kata tidak layak,” kata Setyo.
Pada kesempatan itu, Setyo juga menjelaskan bedanya berita hoaks, black campaign, dan negative campaign.
Menurut Setyo, hoaks adalah jelas-jelas berita yang tidak memiliki data dan bukti mendukung.
“Kalau black campaign itu adalah kita menyebarluaskan sesuatu yang merupakan kelemahan orang tapi tidak didukung oleh data dan fakta. Ini mirip dengan hoaks,” ucap Setyo.
Baca juga: Hoaks atau Fakta Pekan Ini, Gempa Madura hingga Bayi Korban Tsunami
Sementara negative campaign, menurut Setyo, adalah menyampaikan atau menyebarluaskan kelemahan orang.
Lebih lanjut, Setyo meminta masyarakat harus memiliki pemahaman literasi digital. Hal itu dilakukan sehingga memahami apa yang diaksesnya dan konsekuensi yang timbul dari aktivitas yang dilakukan.
“Perlu literasi media sangat penting ketika sudah menggunakan teknologi yang maju. 70 persen masyarakat Indonesia hasil survei adalah lulusna SMP,” kata Setyo.
“Pemahaman yang terbatas tapi telah memasuki dunia yang tak terbatas sehingga diberi pemahaman untuk melek visual,” lanjut Setyo.
Enggan membaca