Oleh: Iqrak Sulhin
TANGGAL 10 Oktober adalah Hari Anti-hukuman Mati Sedunia. Indonesia merupakan salah satu negara yang masih melaksanakan hukuman mati.
Meskipun banyak penolakan dari berbagai kalangan, pemerintah Indonesia tetap memberlakukan hukuman mati karena percaya bahwa hukuman mati efektif dalam menciptakan rasa takut di masyarakat untuk tidak melakukan kejahatan yang sama.
Dalam sebuah buku yang berjudul "Politik Hukuman Mati di Indonesia", saya menulis bahwa belum ada penelitian di Indonesia yang secara khusus dilakukan untuk mengukur efek penggentar ini. Selain tidak ada data empiris, saya juga menunjukkan banyak argumentasi dan penelitian di dunia yang menunjukkan bahwa efek jera hukuman mati hanyalah mitos.
Pemikiran tentang efek penggentar hukuman mati dalam penologi, cabang ilmu kriminologi yang mempelajari penghukuman terhadap kejahatan, muncul beriringan dengan menguatnya pengaruh utilitarianisme klasik abad ke-18 terhadap sistem hukum Barat.
Utilitarianisme klasik adalah sebuah pendekatan teori etika yang diperkenalkan filsuf Jeremy Bentham dan dan John Stuart Mill.
Para pemikir hukum sebelumnya memandang penghukuman sebagai sebuah kewajiban moral, sebagaimana dijelaskan oleh filsuf Immanuel Kant di dalam "Filsafat Hukum" (The Philosophy of Law).
Kant mengatakan, penghukuman bukan sebuah upaya untuk mempromosikan kebaikan, baik terhadap pelaku maupun terhadap masyarakat sipil, melainkan hukuman bagi seseorang yang telah melakukan kejahatan.
Berbeda dengan itu, utilitarianisme klasik mengubah perspektif penghukuman ke arah tujuan atau konsekuensinya. Dalam pendekatan utilitarianisme, sebuah bentuk hukuman dibenarkan apabila memberi manfaat bagi banyak orang.
Jika kejahatan dapat dicegah sehingga tercipta keamanan masyarakat, hukuman tersebut boleh diberikan pada pelaku kejahatan.
Hukuman mati kemudian dilihat sebagai bentuk hukuman yang efektif dalam menakut-nakuti. Nilai dari hukuman mati tidak terletak pada "tindakan membunuh secara legal atas perintah pengadilan", tetapi pada manfaat yang dihasilkan, yaitu mencegah kejahatan karena hukuman tersebut membuat gentar untuk melakukan tindakan kejahatan.
Hukuman mati di Indonesia diberlakukan sejak masa kolonial. Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels menetapkan hukuman mati sebagai strategi membungkam perlawanan penduduk jajahan.
Dasar hukum bagi hukuman mati diformalkan dengan ditetapkannya hukum kolonial Belanda (Wetboek van Strafrecht voor Indonesie atau WvSI) pada 1 Januari 1918. Ketentuan WvSI ini dipertahankan menjadi hukum pidana sejak kemerdekaan Indonesia.
Dari zaman kolonial hingga saat ini, praktik hukuman mati masih dijalankan di Indonesia meskipun banyak pihak yang menentang hukuman ini. Penolakan terutama berasal dari kalangan masyarakat sipil, seperti Amnesty Internasional, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam).
Alasan mereka berkaitan dengan hukuman mati sebagai hukuman yang bertentangan dengan hak asasi manusia hingga belum terjaminnya peradilan yang adil. Komisi Nasional Perlindungan Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga merekomendasikan peninjauan kembali penerapan hukuman mati di Indonesia.