JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi optimistis program untuk memulihkan psikis atau kejiwaan anak-anak yang menjadi korban bencana gempa bumi dan tsunami di Sulawesi Tengah berjalan baik.
Seto, yang biasa disapa Kak Seto, mengatakan, di beberapa titik pengungsian yang telah dikunjunginya program trauma healing menunjukkan hasil yang positif.
“Mereka tetap semangat belajar. Misalnya melakukan kegiatan cerdas tangkas berpacu dalam melodi kita berikan nada-nada lagu-lagu wajib apakah itu 'Maju Tak Gentar', 'Halo-Halo Bandung', 'Satu Nusa Satu Bangsa', serta lagu-lagu nasional lain mereka dengan cepat bisa menjawab,” kata Kak Seto saat dihubungi Kompas.com, Minggu (7/10/2018) malam.
Baca juga: Celoteh Anak-anak Korban Gempa Palu Yang Merindukan Sekolah (1)
“Saya pikir ini enggak jauh berbeda dengan anak-anak di Jakarta gitu. Mereka menyanyi, misalnya melakukan yel-yel ‘Mari berjalan-jalan yeee yeee’ mereka berteriak, semangat, spontan, dan gembira sekali. Sangat tak diduga,” lanjut Kak Seto.
Menurut Kak Seto, secara teori, jika trauma yang dialami anak-anak segera diatasi akan meminimalisasi dampak buruk.
“Mereka ibarat patung lilin ketika jatuh tidak patah, peyok-peyok misalnya itu harus segera diluruskan kembali, cepet mengalami trauma tetapi tetap bangkit kembali manakala momentum itu tidak terlambat,” ujar Kak Seto.
Lebih lanjut, Kak Seto mengatakan, pihaknya akan tetap bekerja sama dan bersinergi dengan relawan, khususnya dari tim Layanan Dukungan Psikososial Kementerian Sosial untuk menjalankan program trauma healing.
“Yang paling penting anak-anak diberi kegiatan, diberi suatu kesibukan sehingga mereka tidak terus menerawang pengalaman sebelumnya yang penuh kegetiran terus. Selalu optimistis, harapan dan itu dengan cara bermain bersama,” kata Kak Seto.
Baca juga: Celoteh Anak-anak Korban Gempa Palu yang Merindukan Sekolah (2)
“Dalam psikologi, ada teori social learning. Jadi belajar secara sosial anak-anak kan saling melihat ‘lho temen saya enggak papa sama-sama mengalami pengalaman yang sangat pahit tapi ini sudah gembira’. Jadi saling menularkan positif tadi,” kata dia.
Namun, Kak Seto mengakui, ada juga anak-anak korban bencana di Sulteng yang membutuhkan pendekatan individual.
“Saya menemukan seorang anak yang kedua orangtuanya hilang dalam likuefaksi itu. Tapi diajak bermain sudah bisa senyum, gembira, kekuatan dari motivasi teman-temannya tanpa disadari," kata Kak Seto.
“Jadi intinya dalam keadaan apa pun juga bencana jangan pernah lupakan anak-anak,” ujar Seto.
LPAI akan mendorong Kementerian Pendidikan dan Budaya untuk mengadakan semacam sekolah-sekolah darurat, sehingga anak-anak bisa bersekolah kembali.
“Jangan terpaku pada pendidikan formal. Seperti yang model pendidikan yang ada di Jakarta semacam home schooling jadi pendidikan nonformal dan informal bisa ditempuh dalam hal ini. Sebetulnya kami yang melakukan kegiatan bermain ini tanpa sadar memasuki garis-garis pendidikan pada anak tetapi non formal gitu suasana yang dibungkus dengan keceriaan,” kata Kak Seto.
Pendidikan yang ramah anak, lanjut Kak Seto, harus mengedepankan kreativitas dengan menempatkan anak sebagai pusat.
.
.
.