Selain sebagai pemilik modal sekolah, ED merupakan anggota kepolisian aktif.
Menurut Retno, pelaku tidak bisa memisahkan dirinya dengan identitas pekerjaannya sebagai anggota kepolisian.
"Dia (ED) juga merangkap sebagai pembina, kemudian tidak bisa membedakan dirinya yang seorang polisi dengan tidak, sehingga ketika itu terjadi dia terapkan versi semimiliter tadi. Aartinya ini jelas tidak dibenarkan dalam sistem sekolah," ujar Retno.
Baca juga: Pelaku Kekerasan terhadap Anak di Batam Seorang Anggota Polisi, KPAI Kerja Sama dengan Kompolnas
Selanjutnya, KPAI akan bekerja sama dengan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) untuk menindaklanjuti anggota kepolisian yang menjadi pelaku.
Kerja sama tersebut dibutuhkan karena lembaganya tidak memiliki wewenang untuk menindak pelaku yang termasuk kategori orang dewasa.
Korban berinisial RS (17) kini mengalami trauma berat.
"Kekerasan fisik dan cyber bully yang dialami RS mengakibatkannya mengalami trauma berat secara psikologis," ujar Retno.
Baca juga: Meski Ada Mediasi, KPAI Ingin Proses Hukum Tetap Berjalan untuk Kasus SMK Semi-militer di Batam
Dengan perlakuan dan apa yang dialaminya, RS kini membutuhkan penanganan secara psikologis.
"Ia membutuhkan rehabilitasi medis maupun psikis," kata Retno.
Kedua belah pihak, antara sekolah dengan keluarga korban, telah melakukan mediasi. Namun, KPAI ingin proses hukum terus berjalan.
Komisioner KPAI Bidang Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) Putu Elvina mengatakan, kasus ini merupakan pidana murni sesuai Undang-Undang Perlindungan Anak sehingga mediasi tidak menghapus perkara.
"Kemarin pihak sekolah dan keluarga sudah mediasi, tapi mediasi tidak akan menghilangkan proses hukum karena ini bukan delik aduan tapi pidana murni," kata Elvina.
"Ini yang harus dipastikan karena pihak sekolah menganggap pada saat mediasi dilakukan, (masalah) ini selesai," lanjut dia.
Untuk memastikan jalannya proses hukum, KPAI telah melakukan koordinasi dengan beberapa pihak terkait, seperti kepolisian dan Dinas Pendidikan.