Beberapa hari terakhir ini pemberitaan mengenai nilai rupiah yang semakin melemah mewarnai jagat media cetak, media online dan media televisi.
Agar bisa memahami dengan jelas dan mendudukkan perkara secara tepat, ada lima hal mendasar yang perlu diketahui.
Bila barang/jasa yang diekspor lebih sedikit daripada yang diimpor, maka negara kita akan mengalami defisit transaksi berjalan.
Defisit transaksi berjalan di Indonesia sudah terjadi sejak tahun 2011. Kenapa baru sekarang berpengaruh terhadap rupiah?
Pada tahun-tahun sebelumnya, defisit transaksi berjalan berhasil tertutup oleh transaksi modal sehingga secara keseluruhan, neraca Indonesia masih positif.
Perlu diketahui, selain neraca transaksi berjalan, terdapat pula neraca atau transaksi modal yang mencatat pergerakan modal antar negara dalam bentuk investasi langsung, investasi portfolio dan investasi lainnya.
Apabila terdapat investasi asing yang masuk ke Indonesia maka disebut capital inflow, apabila sebaliknya maka disebut capital outflow.
Sebagai contoh tahun 2016 dan 2017, walaupun terdapat defisit transaksi berjalan sebesar USD 17 miliar namun terdapat investasi ke Indonesia sebesar USD 29 miliar, secara total masih positif sekitar USD 12 miliar.
Saat ini, investasi asing banyak yang “kembali” ke Amerika Serikat karena Bank Sentral Amerika menaikkan suku bunganya sebagai akibat normalisasi setelah krisis global 2009.
Selain itu, perang dagang antar China dan Amerika Serikat juga berdampak luas pada melemahnya mata uang negara berkembang.
Tahun 1998 terjadinya krisis perbankan yang kemudian berpengaruh kepada sektor keuangan. Krisis tersebut lanjut dengan menghantam sektor moneter di mana inflasi melonjak drastis menjadi 77 persen dan nilai tukar melemah sampai 244 persen.
Setelah itu, transaksi berjalan juga ikut terperosok karena kemampuan membayar barang impor menjadi sangat mahal dan terjadinya capital outflow.
Saat ini, inflasi kita masih terkendali pada angka 3,2 persen dan pelemahan nilai tukar rupiah hanya 4,2persen.