JAKARTA, KOMPAS.com — Setara Institute mencatat ada kenaikan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB) jika membandingkan data pertengahan tahun 2018 dengan 2017.
Hingga pertengahan Juni 2017, terdapat 80 peristiwa dengan 99 tindakan pelanggaran KBB. Sementara itu, per Juni 2018, jumlahnya melonjak menjadi 109 peristiwa dengan 136 tindakan pelanggaran.
Direktur Setara Institute Halili mengatakan, penyumbang terbesar pada tahun 2018 adalah pemilihan kepala daerah (pilkada) yang mulai memanas pada Februari. Akibatnya, politisasi agama marak terjadi.
"Penggunaan agama sebagai instrumen politik, politik kekuasaan, dalam pilkada itu marak sejak Februari," ujar Halili di Kantor Setara Institute, Jakarta, Senin (20/8/2018).
Baca juga: Setara Institute: Pelanggaran Kebebasan Beragama Terbanyak Ada di Jakarta
Ia mencatat, politisasi agama yang banyak digunakan terbagi ke dalam dua bentuk, yaitu gerakan tidak memilih pemimpin yang tidak seagama dan kampanye hitam atau black campaign.
Cara memolitisasi agama pada pilkada kemarin adalah merekayasa fakta.
"Di pilkada yang dominan itu bukan kapitalisasi fakta, tapi merekayasa fakta, seakan-akan itu sebuah fakta padahal faktanya tidak ada," tutur Halili.
Baca juga: Kepentingan Elektoral Buat Kasus Pelanggaran Kebebasan Beragama Mangkrak
Ia memberikan contoh rekayasa dalam pilkada kemarin, misalnya status haji calon gubernur Sumatera Utara Djarot Saiful Hidayat yang diragukan kebenarannya atau Gubernur Jawa Barat terpilih Ridwan Kamil yang dikatakan pro terhadap LGBT.
Halili menyebutkan bahwa cara tersebut adalah bentuk baru dalam politisasi agama untuk menyerang peserta pilkada yang seagama.
"Itu merupakan pola baru dalam situasi, misalnya kontestan seagama, maka yang paling mungkin adalah membuat fakta-fakta itu," ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.