PEMILIHAN Presiden Tahun 2014 dan Pemilihan Gubernur DKI Jakarta Tahun 2017 telah menyisakan residu energi yang begitu besar. Dua kutub mengkristal, hingga saat ini sangat sulit mencair.
Entah siapa yang memulai, istilah cebong dan kampret menjadi penamaan yang khas untuk dua kutub itu. Jagat media sosial kemudian begitu ramai dengan pertentangan warganet di dua kutub ini.
Cebong merupakan panggilan untuk pasukan die hard pembela Pak Joko Widodo. Sementara kampret berada di kutub seberang.
Hampir lima tahun mereka bertarung, sampai hari ini belum juga ada upaya ishlah rekonsiliasi. Alih-alih gencatan senjata, masing-masing dari mereka di tahun politik ini kian aktif mengasah diksi-diksi insinuatif bernada cercaan dan kecaman.
Baca juga: PoliticaWave: Terjadi Polarisasi Perbincangan soal Ahok di Media Sosial
Anak bangsa seolah dipaksa berada dalam disparitas pemahaman ideologi semu, berbalut misi mempertahankan kemapanan patron masing-masing. Secara hakikat, situasi ini sesungguhnya teramat melelahkan dan tidak melahirkan benefit bagi anak bangsa.
Seharusnya, hasil kontestasi politik menjadi sintesa bagi kedua kubu. Dia harus diterima sebagai jawaban sejarah untuk setiap gagasan yang ditawarkan. Sayangnya, sintesa itu tidak pernah terjadi. Boleh jadi, kobaran konflik ini sengaja dipelihara.
Kritik yang mengarah pada ejekan dan pembelaan membabi buta sering kita temukan dalam unggahan sosial media. Salah satunya saat mengomentari kepemimpinan Anies-Sandi di Jakarta.
Satu kubu mengkritik seolah Anies-Sandi tidak ada benarnya dan nol prestasi kerja. Ahoklah pemimpin terbaik di Jakarta yang tiada pernah akan ada gantinya.
Satu kubu yang lain menganggap Anies-Sandilah yang membenahi Jakarta saat ini. Apabila ada kekurangan, itu merupakan ketidakmampuan Ahok pada masa lalu.
Padahal, kalau kita mau objektif, Ahok ada sisi keberhasilannya, tetapi ada juga sisi lemahnya. Begitupun Anies-Sandi, ada aspek yang menjadi fokus perubahannya, ada juga pekerjaan yang dia lupakan.
Maka letak oposisi dalam perspektif demokrasi adalah memberikan otokritik konstruktif agar ada perbaikan dalam kepemimpinan kubu yang menjadi lawan politiknya.
Baca juga: Amnesty Internasional: Hak Elektoral dan Pluralisme di Indonesia Alami Kemerosotan
Salah satu kerugian yang dialami Jakarta adalah keengganan Anies-Sandi untuk merawat apa yang dahulu diletakan Ahok. Seperti tidak terawatnya kawasan Kalijodo.
Hal ini bisa jadi Anies-Sandi enggan merawatnya. Karena apabila dia merawatnya tidak menjadi tren kreativitas baru yang menjadi merk mereka.
Bahkan, bisa jadi kelompok oposisi akan menganggap Anies-Sandi tidak memiliki kreativitas karena dianggap hanya bisa meneruskan apa yang Ahok letakan.
Padahal dari sisi proses, pembangunan harus berjalan berkesinambungan. Setiap masa, seorang pemimpin memiliki jasa kepemimpinan dan apabila memiliki manfaat harus diteruskan.