JAKARTA, KOMPAS.com - Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) meminta masyarakat untuk memercayakan informasi terkait data korban ataupun kerusakan akibat gempa Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), yang dirilis oleh pihaknya.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, data dampak bencana yang diakui oleh pemerintah bersumber dari BNPB dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).
Oleh sebab itu, keabsahan data menjadi prioritas bagi BNPB. Sebab, identitas yang valid dibutuhkan menyangkut santunan dukacita bagi ahli waris korban dari pemerintah.
Sutopo mengakui bahwa dampaknya terlihat pada proses penyampaian yang memang cenderung lamban.
"Penyampaian data korban bencana bukan soal cepat-cepatan tetapi adalah kehati-hatian untuk menjamin data tersebut benar," kata Sutopo dalam rilisnya, Rabu (8/8/2018).
"Seringkali data yang keluar dari BNPB dan BPBD lambat dibanding data lain, sebab perlu verifikasi agar valid," ujar dia.
Baca juga: Pasokan Layanan Kesehatan Dinilai Cukup Tangani Korban Gempa Lombok
Tanggapan Sutopo tersebut disampaikan terkait perbedaan data jumlah korban dari berbagai institusi terkait gempa Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Sebelumnya, menurut Sutopo, ada informasi bahwa TNI merilis data korban meninggal dunia sebanyak 381 orang, per Rabu (8/8/2018) pukul 15.00 Wita.
Sementara itu, Gubernur Nusa Tenggara Barat TGB Muhammad Zainul Majdi dan Basarnas menyebutkan 226 orang yang meninggal dunia.
Padahal, data terakhir menurut BNPB per Rabu (8/8/2018) pukul 12.00 WIB, terdapat 131 korban meninggal dunia.
Perbedaan juga terlihat pada data jumlah korban yang mengalami luka berat. TNI menyebutkan 672 orang yang menderita luka berat. Di sisi lain, BNPB mencatat sejumlah 1.477 yang mengalami luka berat.
Terkait penderita luka ringan, TNI mendata sebanyak 361 orang. Sementara, BNPB mengakui pihaknya belum memiliki data valid terkait kategori penderita ini karena jumlahnya yang sangat banyak.
Pengungsi yang terdata oleh TNI yaitu 270.168 orang. Lain halnya dengan BNPB yang mencatat terdapat 156.003 pengungsi.
Data lain yang berbeda adalah jumlah rumah yang rusak. TNI mendapati 22.721 unit yang mengalami kerusakan. Tetapi, BNPB mencatat rumah yang rusak mencapai 42.239 unit.
Sutopo menilai, perbedaan data sudah sering terjadi, apalagi saat masa tanggap darurat bencana.