JAKARTA, KOMPAS.com - Ketentuan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold dikhawatirkan akan membuat pemilihan umum (pemilu) di Indonesia semakin pragmatis.
Ambang batas tersebut tertuang dalam Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Disebutkan bahwa parpol atau gabungan parpol harus mengantongi 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional untuk bisa mengusung pasangan capres-cawapres dalam pilpres.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menjelaskan akibatnya pemilu dan koalisi yang terbentuk menjadi tidak alamiah.
"(Pemilihan presiden dan wakil presiden) bukan lagi bicara apa visi-misi serta platform ideologi yang menyatukan koalisi," ujar Titi di Jakarta, Selasa (31/7/2018).
Baca juga: KPU Antisipasi jika MK Kabulkan Uji Materi Presidential Threshold
"Tetapi, bicara soal siapa, bicara orientasi figur, karena memang dipaksa oleh ambang batas," tegasnya lagi.
Partai akan berkoalisi hanya demi memenuhi ambang batas agar dapat mengusung calon dalam pilpres. Selain itu, pilihan masyarakat atas pasangan capres-cawapres akan semakin terbatas.
Pada akhirnya, Titi menjelaskan akan berujung pada hilangnya esensi pemilu sebagai bagian dari pendidikan politik.
Oleh sebab itu, ia berharap Mahkamah Konstitusi dapat segera memberi putusan terkait uji materi atas ambang batas ini sebelum pendaftaran pasangan capres-cawapres. Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan tanggal pendaftaran bagi pasangan capres-cawapres untuk Pilpres 2019 pada 4-10 Agustus 2018.
Baca juga: Presidential Threshold Kembali Digugat, Dianggap Mengebiri Hak Konstitusional Pemilih Pemula
Saat ini, gugatan atas presidential threshold diajukan oleh 12 orang ke MK. Titi merupakan salah satunya. Selain itu, ada pula Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak, Mantan pimpinan KPK Bambang Widjojanto, Akademisi Rocky Gerung, Akademisi Robertus Robet, dan Direktur Pusako Universitas Andalas Feri Amsari.
Penggugat lainnya yaitu, Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) M. Busyro Muqoddas, mantan Menteri Keuangan M. Chatib Basri, Akademisi Faisal Basri, mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hadar Nafis Gumay, dan Sutradara Film Angga Dwimas Sasongko.
Ahli yang mendukung permohonan tersebut yakni Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun, Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada Zainal ArifIn Moctar, serta Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti.
Proses dalam gugatan ini sudah memasuki tahap sidang perbaikan permohonan. Sebelumnya, uji materi ini telah disidangkan sebanyak dua kali.