JAKARTA, KOMPAS.com - Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah menyatakan pihaknya menghormati pengajuan peninjauan kembali yang dilakukan Anas Urbaningrum terhadap vonis yang diterimanya. KPK menyerahkan sepenuhnya vonis Anas kepada majelis hakim.
“Ya tinggal nanti kita simak secara bersama-sama bagaimana proses di persidangan dan kita percaya hakim akan independen dan imparsial untuk memproses hal tersebut,” ujar Febri di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (12/7/2018).
KPK, kata Febri, yakin dengan konstruksi kasus-kasus Anies Urbaningrum, karena memang sudah diuji dalam proses yang panjang di pengadilan tingkat pertama.
Baca juga: Sampaikan Kesimpulan PK, Anas Urbaningrum Minta Dibebaskan dari Hukuman
“Pembuktian (kasus Anas Urbaningrum) baik dari jaksa, dari pihak kuasa hukum, terus diputus oleh hakim, diuji lagi ke tingkat banding kalau dia banding sampai berkekuatan hukum tetap,” kata Febri.
Saat ditanya mengenai atas fenomena banyaknya terpidana korupsi yang beramai-ramai mengajukan Peninjauan Kembali(PK), Febri tak menjawab secara rinci. Namun, ia menegaskan pihaknya tak khawatir soal fenomena itu.
“Saya tidak tau hal tersebut, tapi yang pasti ada atau tidak ada, tidak akan berpengaruh ya, karena MA (Mahkamah Agung) dan jajaran pengadilan dibawahnya sudah jauh lebih baik saat ini dalam hal memproses dan menyidangkan kasus-kasus korupsi, apalagi bukti saya pandang kuat,” ujar Febri.
Baca juga: KPK Nilai PK Anas Urbaningrum Tak Punya Bukti Baru
Sebelumnya, Mahkamah Agung memperberat hukuman terhadap Anas Urbaningrum, setelah menolak kasasi yang diajukannya. Anas yang semula dihukum tujuh tahun penjara kini harus mendekam di rumah tahanan selama 14 tahun.
Selain itu, Anas juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp 5 miliar subsider satu tahun dan empat bulan kurungan. Krisna menjelaskan, Anas juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 57.592.330.580 kepada negara.
MA mengabulkan pula permohonan jaksa penuntut umum dari KPK yang meminta agar Anas dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan hak dipilih dalam menduduki jabatan publik.