JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Bambang Soesatyo menyebutkan hasil Pilkada Serentak 2018 sungguh sulit untuk dijadikan barometer bagi pelaksanaan Pemilu 2019.
Menurut dia peta koalisi dalam Pilkada Serentak 2018 sangat bervariasi.
“Kita harus sadar bahwa Pilkada 2018 tidak bisa dijadikan acuan secara utuh pada peta Pilpres 2019. Level antara pilkada dan pilpres jauh berbeda. Karakter Pilkada dengan Pilpres adalah berbeda, tidak linier,” Bambang yang akrab dipanggil Bamsoet melalui keterangan tertulis, Selasa (10/7/2018).
Baca juga: Menyembuhkan Luka Sosial Pasca-pilkada
Bamsoet mengatakan, hasil Pilkada Serentak 2018 banyak yang mengejutkan publik. Kandidat-kandidat yang didukung partai-partai papan atas tidak seluruhnya memenangkan arena pertarungan Pilkada.
“Kombinasi kemenangan yang terjadi adalah begitu 'cair'. Kombinasi antara dukungan Parpol terhadap Calon Kepala Daerah dan Calon Wakil Kepala Daerah yang begitu fleksibel di lapangan, menunjukkan bahwa Pilkada Serentak 2018 sungguh sulit untuk dijadikan barometer bagi pelaksanaan Pemilu 2019,” ujar Bamsoet.
Baca juga: Survei LSI: 72,5 Persen Responden Tak Ingin Konflik Pilkada DKI 2017 Terulang di Pilpres
Hal tersebut, menurut Bamsoet, karena peta koalisi dalam Pilkada Serentak 2018 sangat bervariasi.
“Partai Pemerintah dan Partai Oposisi banyak yang bekerja sama memasangkan calon-calon mereka. Ada yang menang, dan ada pula yang kalah. Ada juga yang memang calon yang didukung parpol yang terbesar memenangkan ajang pertarungan, tetapi itu tidak mutlak terjadi,” ujar politisi Golkar tersebut.
Lebih lanjut, Bamsoet menuturkan, dari Pilkada Serentak 2018 masyarakat dapat belajar bahwa partai politik hanyalah salah satu faktor kecil kekuatan yang menopang kekalahan atau pun kemenangan kandidat dalam pilkada.
Baca juga: Empat Harapan Publik dalam Pilpres 2019
“Salah satu kekuatan penting yang menentukan kemenangan adalah siapa kandidat atau figur yang maju. Kekuatan partai belum tentu mencerminkan kekuatan kandidat secara langsung,” kata Bamsoet.
Sementara itu, Bamsoet mengatakan, ada pembelajaran dari Pilkada 2018. Yakni tingkat partisipasi yang tinggi, yang diikuti hampir 80 persen pemilih.
Hal tersebut, kata Bamsoet, akan memunculkan kepercayaan diri bagi setiap Parpol yang meraih kemenangan. Sehingga menjadi modal politik dalam mengarungi pertarungan Pileg dan Pilpres 2019.
Baca juga: Jelang Pilpres 2019, Jokowi Ingatkan Pandai-pandai Memilih Pemimpin
“Dan, seberapa tinggi daya tawar mereka (parpol) dalam berkoalisi dengan partai lain dalam memajukan calon presiden ataupun calon wakil presiden. Ini sangat penting dalam strategi politi,” kata Bamsoet.
Selain itu, kata Bamsoet, pembelajaran lainnya dari Pilkada Serentak 2018 adalah bahwa konstelasi politik nasional tidak lagi hanya tergantung kepada keputusan elite politik tingkat nasional semata.
Akan tetapi, harus pula memperhatikan dinamika dan aspirasi yang berkembang di tingkat daerah.
Baca juga: Pengamat: Setidaknya Ada 4 Penantang Jokowi dalam Pilpres 2019
“Pilkada 2018 merupakan sarana penting, bukan sekadar memanaskan dan mengetes mesin partai, melainkan mengecek efektivitas sosok tokoh nasional dalam mengangkat elektabilitas tokoh-tokoh calon kepala daerah dan partai di daerahnya,” ujar dia.
“Jika memang terbukti ampuh, barulah sosok tokoh nasional ini pantas untuk dipertimbangkan untuk melaju di kontestasi politik nasional. Jika sebaliknya, kita harapkan memberikan pentas kepada tokoh yang lebih pantas,” sambung Bamsoet.