JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi membatalkan dan mengoreksi sejumlah pasal kontroversial dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3). Setidaknya ada dua pasal kontroversial yang dibatalkan dan satu pasal yang dikoreksi.
Putusan ini diambil oleh MK dengan suara bulat dalam sidang putusan uji materi UU MD3 di Gedung MK, Jakarta, Kamis (28/6/2018) kemarin. MK mengabulkan untuk sebagian uji materi yang diajukan oleh sejumlah pihak kelompok masyarakat terhadap UU MD3.
1. Pemanggilan Paksa
Pasal pertama yang dibatalkan oleh MK adalah pasal pasal 73 ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) UU MD3. Dalam pasal tersebut, DPR berhak melakukan panggilan paksa setiap orang yang tidak hadir setelah dipanggil tiga kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah.
Panggilan paksa ini dilakukan dengan menggunakan kepolisian. Dijelaskan pula bahwa dalam menjalankan panggilan paksa, kepolisian dapat menyandera setiap orang untuk paling lama 30 hari.
MK mengabulkan permohonan pemohon untuk membatalkan ketentuan soal pemanggilan paksa tersebut.
"Pasal 73 ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) [...] bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Ketua MK Anwar Usman.
Baca juga: Yasonna Tak Terima Pemerintah Disebut Kalah Negosiasi dengan DPR soal UU MD3
Dalam pertimbangannya, MK berpendapat bahwa pemanggilan paksa dan sandera adalah ranah hukum pidana. Sementara proses rapat di DPR bukan bagian dari penegakan hukum pidana.
"Kepolisian hanya dapat melakukan panggilan paksa dalam tindakan yang berkaitan dengan proses penegakan hukum dan merupakan bagian dari kewenangannya yang secara genuine memang kepolisian sedang melakukan proses penegakan hukum, bukan dalam konteks menerima kewenangan yang dilimpahkan dari lembaga lain yaitu DPR," kata Hakim Suhartoyo.
MK juga menilai kewenangan DPR untuk melakukan pemanggilan paksa bisa menimbulkan kekhawatiran yang berujung pada rasa takut setiap orang. Hal itu juga dapat menjauhkan hubungan kemitraan secara horizontal antara DPR dengan rakyat.