JAKARTA, KOMPAS.com - Reformasi genap berusia 20 tahun. Presiden ke-3 RI Bacharuddin Jusuf Habibie ialah pemimpin di masa transisi Pasca-Soeharto Lengser.
Sejumlah akademisi mengenang perjalanan Habibie membawa Indonesia keluar dari jurang krisis ekonomi dan politik setelah Soeharto menyatakan berhenti dari jabatan Presiden.
Mereka mengenang warisan yang ditinggalkan Habibie saat mengantarkan Indonesia keluar dari zona transisi menjadi negara demokrasi yang mapan hingga 20 tahun ke depan.
Hal itu dilakukan dalam rangka memperingati momen kelahiran Habibie yang jatuh pada tanggal 25 Juni, saat Habibie akan berusia 82 tahun.
Baca juga: Cerita dari Rumah Habibie Setelah Tahu Soeharto Ingin Mundur
Pengamat ekonomi Umar Juoro turut membacakan orasinya menyambut hari ulang tahun Habibie yang ke-82.
Ia menilai Habibie berperan penting dalam meletakan fondasi demokrasi di Indonesia. Saat itu, kata Umar, banyak yang meragukan Habibie saat memilih untuk menerapkan sistem demokrasi di Indonesia.
Dari sudut pandang ekonomi, banyak ekonom yang meragukan demokrasi akan bertahan di Indonesia.
Baca juga: 20 Tahun Reformasi, BJ Habibie Sebut Indonesia Dijajah Politik Identitas
Pasalnya, banyak ekonom yang memprediksi Indonesia baru bisa menerapkan demokrasi jika pendapatan perkapitanya di atas USD 6.000. Saat itu, di tahun 1998, pendapatan perkapita Indonesia jatuh ke angka USD 610.
Ia pun mengenang kala Habibie kerap memasang badan saat para akademisi yang saat itu tergabung di Center or Information and Development Studies (CIDES) menggelar diskusi mengenai demokrasi.
Umar menambahkan, ditengah keraguan banyak pihak atas transformasi politik dari otoritarian ke era reformasi, Habibie tetap teguh dengan pendiriannya dan memberi ruang yang luas bagi terbangunnya demokrasi.
Bahkan, kata Umar, saat itu sejumlah pihak menilai Habibie tengah bereksperimen dengan mencangkokan demokrasi ke Indonesia.
"Namun apa yang dijalankan bukanlah eksperimen, tetapi komitmen untuk membangun demokrasi yang akan terus berlanjut," lanjut Umar.