JAKARTA, KOMPAS.com - Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Arif Satria mengungkapkan, pendekatan lunak (soft approach) sangat strategis dalam penanganan bibit radikalisme di kampus.
Arif menjelaskan, pendekatan itu telah didukung oleh Badan Intelijen Negara (BIN), Polri dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
"Beberapa langkah saya lakukan bersama BIN, BNPT dan Polri tanpa ada kegaduhan, agar kondusivitas kampus terjaga. Jadi bagaimana kita mengambil langkah yang tidak memperkeruh suasana," papar Arif dalam diskusi bertajuk 'Strategi Kebangsaan Mengatasi Radikalisme di Universitas' di Sekretariat Perkumpulan Gerakan Kebangsaan, Jakarta, Senin (11/6/2018).
Baca juga: Unibraw: Agar Tak Gaduh, Pemantauan Medsos Mahasiswa Serahkan ke Kampus
Ia menegaskan, pendekatan lunak juga mampu mempertahankan kredibilitas dan citra kampus.
Arif menilai pendekatan keras di kampus akan menganggu kondusivitas kampus sebagai tempat belajar.
Ia juga mengungkapkan, bibit radikalisme bisa tumbuh akibat ekslusivitas pengetahuan positivistik yang mengabaikan pendekatan lain.
Baca juga: Cegah Radikalisme, Ketua DPR Dorong BIN Masuk ke Kampus-kampus
Adanya kebenaran mutlak dalam ilmu pengetahuan positivistik membuat seseorang tak bisa melihat sisi lain.
"Sains yang sekarang dominan adalah yang sifatnya positivistik, sains yang apriori terhadap pendekatan lain, seolah hukum alam yang sudah ia temukan itu sebagai kebenaran mutlak, dia tidak pernah melihat lain. Benih-benih itu (radikalisme) muncul," papar Arif.
Oleh karena itu, ia juga menekankan pentingnya pendekatan keindonesiaan sebagai narasi alternatif dalam memahami ilmu pengetahuan.
"Itulah yang coba saya dobrak, membawa mazhab-mazhab alternatif yang berbasis keindonesiaan. Karena sains yang dikembangkan di Indonesia, sains yang diimpor dari realitas luar yang berbeda dengan kita," kata dia.
Baca juga: Aher: Kampus IPB di Sukabumi Sesuai Tuntutan Jaman Milenial
Menurut dia, pengetahuan berbasis keindonesiaan akan menciptakan generasi muda yang tidak arogan, menjunjung keberagaman serta membangun inklusivitas.
Di sisi lain, tingginya keberagaman mahasiswa di suatu universitas juga menjadi keuntungan tersendiri.
"Dalam rangka membangun inklusivitas kita harus membangun miniatur Indonesia di kampus. Keberagaman menjadi penting, benih-benih inklusivitas bisa kita tanam," kata dia.
Baca juga: Pemerintah Diminta Ajak Rektor Bahas Radikalisme di Kampus
Ia juga mewajibkan mahasiwa baru tinggal di asrama selama satu tahun. Di asrama, mereka akan mengikuti pendidikan multikultural.
Arif menganggap keberadaan mahasiswa di asrama juga memudahkan pengawasan akan potensi radikalisme.