JAKARTA, KOMPAS.com - Pembahasan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang saat ini sedang berlangsung, diminta ditunda.
Pasalnya, hingga saat ini belum ada terjemahan resmi KUHP yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Hal tersebut diungkapkan Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur.
Baca juga: KUHP Terancam Gagal Jadi Kado dari DPR Saat HUT RI ke-73
Ia menyebutkan, hingga saat ini ada sejumlah versi terjemahan KUHP yang digunakan.
"Pembahasan (RKUHP) yang sekarang di DPR dibahas, kami mohon ditunda dulu," kata Isnur di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Jumat (8/6/2018).
Isnur mengungkapkan, pemerintah dan DPR harus terlebih dahulu menyepakati terjemahan KUHP yang dijadikan sebagai rujukan. Setelah itu, barulah pembahasan RKUHP dapat kembali dilakukan.
Baca juga: Tak Buat Terjemahan Resmi KUHP, Presiden, Menkumham, dan DPR Digugat
Menurut Isnur, saat ini ada sejumlah terjemahan KUHP, antara lain yang diterjemahkan oleh R Soesilo, Prof Moeljatno, Prof Andi Hamzah, dan sebagainya. Ada pula yang diterjemahkan oleh BPHN atau Badan Pembinaan Hukum Nasional.
"Sebenarnya kalau pemerintah menyepakati terbitan BPHN yang mereka buat sendiri, versi pemerintah, kan cepat," tutur Isnur.
YLBHI, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH Masyrakat) mendaftarkan gugatan kepada Presiden RI Joko Widodo, Menteri Hukum dan HAM RI Yasonna H Laoly, dan Ketua DPR RI Bambang Soesatyo.
Baca juga: Menurut KPK, Lebih Baik Revisi UU Tipikor daripada Atur Korupsi Lewat KUHP
Gugatan tersebut dilayangkan lantaran ketiga tergugat lalai tidak membuat terjemahan resmi KUHP berbahasa Indonesia resmi.
Karena ada beragam versi terjemahan KUHP, imbuh Isnur, maka ada penafsiran yang berbeda pula antara satu pakar dengan pakar lainnya.
Akibatnya, kepastian dan keselarasan hukum pun sulit diperoleh, khususnya terkait penerapan hukum pidana yang sifatnya sangat materil.