JAKARTA, KOMPAS.com - Manager Riset Transparancy Internasional Indonesia Wawan Suyatmiko mengatakan, upaya pelemahan agenda antikorupsi di suatu negara bisa beragam bentuknya.
Pelemahan bisa dilakukan dalam bentuk serangan secara personal, baik dalam bentuk serangan fisik, pembunuhan karakter, maupun penggunaan instrumen hukum pidana.
“Secara kelembagaan, serangan dilakukan melalui proses politik untuk mengurangi kewenangan dan bahkan bisa berujung pada pembubaran badan antikorupsi,” kata Wawan saat acara diskusi di Kantor Transparancy Internasional Indonesia, Jakarta, Kamis (7/6/2018).
Baca juga: TII: Diperlukan Peningkatan Reformasi Antikorupsi di Lembaga Hukum dan Politik
Wawan mengatakan, pelemahan dan pembubaran badan antikorupsi bisa dipahami sebagai bentuk serangan balik koruptor dan jejaringnya yang ada di parlemen, pemerintahan dan partai politik.
“Serangan yang bertubi-tubi muncul ketika badan antikorupsi sedang mengusut kasus-kasus besar, megakorupsi, serta menggangu kepentingan para elit pejabat dan politikus korup,” kata dia.
Menurutnya, pelemahan dan pembubaran badan antikorupsi di berbagai negara selalu menempatkan parlemen dan pemerintah sebagai aktor penting dibelakangnya.
Baca juga: TII: DPR dan Pemerintah Punya Andil Perbaiki Skor Indeks Persepsi Korupsi
“Proses legislasi merupakan cara yang lazim digunakan untuk memberikan kesan bahwa upaya mereka itu legal dan didukung oleh rakyat,” ucap dia.
Jika ditilik dalam satu dekade terakhir, skor Corruption Perception Index (CPI) Indonesia masih rendah, artinya cenderung korup.
“Kalau menggunakan ukuran Corruption Perception Index (CPI), Indonesia sendiri di tahun 2017 posisinya ada 37, artinya kalau 0-100, angka 37 masih E,” kata dia.