JAKARTA, KOMPAS.com- Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus menilai Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly tidak memiliki kewenangan untuk menyatakan apakah suatu peraturan itu bertentangan atau tidak dengan undang-undang di atasnya.
Ia menegaskan bahwa kewenangan tersebut menjadi ranah Mahkamah Agung jika ada pihak-pihak yang mengajukan gugatan.
"Dia (Menkumham) tidak bisa menggunakan alasan itu untuk tidak menandatangani PKPU larangan mantan napi koruptor menjadi caleg," ujar Lucius kepada Kompas.com, Selasa (5/6/2018).
Baca juga: KPU: Jika PKPU Larangan Eks Koruptor Nyaleg Melanggar UU, Keluarkan Perppu
Ia menyayangkan sikap pemerintah yang tak mendukung larangan mantan narapidana kasus korupsi maju dalam pemilihan legislatif (Pileg) 2019.
Larangan tersebut tercantum dalam pasal 7 ayat (1) huruf h rancangan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) pencalonan anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Bahkan menyebut peraturan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan tidak akan menandatanganinya.
"Yang bisa menilai pelanggaran dari PKPU yang dibuat KPU adalah Mahkamah Agung jika ada pihak yang mengajukan gugatan," ucapnya.
Baca juga: KPU Desak Kemenkumham Segera Undangkan PKPU Larangan Eks Koruptor Nyaleg
Selain itu, Lucius menilai pemerintah dapat dianggap melakukan intervensi kewenangan KPU dalam membuat peraturan jika Menkumham menolak menandatangani peraturan tersebut.
Seharusnya, KPU bersifat independen dalam membuat sebuah peraturan. Oleh sebab itu pemerintah tidak bisa menilai substansi dari peraturan itu.
Di sisi lain, keengganan Yasonna untuk menandatangani PKPU juga dinilai akan menghambat tahapan penyelenggaraan pemilu.
Diketahui, pada 4 hingga 17 Juli mendatang akan dimulai proses pendaftaran calon.
"Ancaman Menkumham juga bisa dianggap sebagai suatu bentuk intervensi terhadap KPU yang menurut undang-undang harus bekerja atas prinsip mandiri dan otonom serta independen," kata Lucius.
Baca juga: KPU Nilai Kemenkumham Tak Berhak Koreksi Draf PKPU soal Eks Koruptor Jadi Caleg
Sebelumnya, Yasonna Laoly menegaskan bahwa dirinya tidak akan menandatangani draf PKPU yang mengatur larangan mantan narapidana kasus korupsi untuk maju dalam Pemilu Legislatif 2019.
Menurut Yasonna, PKPU tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
"Jangan dipaksa saya menandatangani sesuatu yang bertentangan dengan undang-undang," ujar Yasonna saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (4/6/2018).
Baca juga: KPU Nilai Kemenkumham Berpotensi Hambat Pileg jika Tak Memproses PKPU Pencalonan
Pasal 240 Ayat 1 huruf g UU Pemilu menyatakan, seorang mantan narapidana yang telah menjalani masa hukuman selama lima tahun atau lebih, boleh mencalonkan diri selama yang bersangkutan mengumumkan pernah berstatus sebagai narapidana kepada publik.
Dengan demikian mantan narapidana korupsi, menurut UU Pemilu, dapat mencalonkan diri sebagai caleg.
Yasonna mengatakan, KPU tidak memiliki kewenangan untuk menghilangkan hak politik seseorang selama tidak diatur dalam undang-undang.