JAKARTA, KOMPAS.com - Suryadharma Ali tampak bersemangat ketika melangkahkan kaki di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (4/6/2018). Meski terlihat lebih kurus, Menteri Agama di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu optimistis dirinya bakal mendapat keadilan yang sesungguhnya.
Suryadharma kembali menguji putusan hakim terhadapnya. Bersama pengacaranya, Suryadharma mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung.
"Harapannya ya dapat keadilan. Orang (sebelumnya) diadili bukan diadili dengan peraturan yang benar," kata Suryadharma.
Baca juga: Cerita Artidjo Bentak dan Usir Pengusaha yang Mau Coba Menyuapnya
Namun, Suryadharma memastikan ada kesalahan dalam proses peradilan terhadapnya.
"Saya enggak tahu ada kekhilafan atau apa. Tidak mungkin dong orang mengajukan tanpa alasan, lihat nanti ya, sabar," kata Suryadharma.
Sebelumnya, Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta menolak permohonan banding yang diajukan Suryadharma Ali. Pengadilan Tinggi justru memperberat hukuman bagi Suryadharma.
Majelis hakim justru menambah hukuman bagi Suryadharma menjadi 10 tahun penjara.
Selain itu, Pengadilan Tinggi juga menambah hukuman berupa pencabutan hak politik Suryadharma selama lima tahun setelah pidana penjara selesai dijalani.
Baca juga: Artidjo Pensiun sebagai Hakim Agung, Koruptor Coba Peruntungan ke MA
Pada pengadilan tingkat pertama, Suryadharma divonis 6 tahun penjara.
Kurang dari dua pekan sebelumnya, ada dua narapidana kasus korupsi yang mengajukan upaya hukum PK. Mereka adalah mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbanungrum dan mantan Menteri Kesehatan, Siti Fadilah Supari.
Anas Urbaningrum
Selain itu, Anas juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp 5 miliar subsider satu tahun dan empat bulan kurungan.
Anas juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 57.592.330.580 kepada negara.
Apabila uang pengganti dalam waktu satu bulan tidak dilunasi, maka seluruh kekayaannya akan dilelang. Apabila masih juga belum cukup, ia terancam penjara selama empat tahun.
Anas juga dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan hak dipilih dalam menduduki jabatan publik.