JAKARTA, KOMPAS.com - Ditengah membanjirnya informasi, kearifan dan kebijaksanaan media teramat penting. Jangan hanya berlomba menampilkan fakta namun juga mesti bisa melihat dampak dari informasi yang dipublikasi.
Hal ini lah yang mencuat dalam diskusi yang diinisiasi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Diskusi ini menghadirkan narasumber dari Polri, Mahkamah Agung, Kejaksaaan Agung, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan Dewan Pers.
“Kita tidak bisa menampilkan bahan berita apa adanya atau sederhana,” ujar Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Mayong Suryo Laksono saat diskusi, seperti dikutip dari keterangan pers, Kamis (31/5/2018).
Baca juga: Imparsial: Keterlibatan TNI Atasi Terorisme Harus di Bawah Kendali Polri
Ia mengingatkan setiap fakta dalam kasus terorisme tidak bisa disiarkan secara telanjang namun harus ada pertimbangan terkait dampak.
Mayong khawatir semangat media dalam menyampaikan informasi terkait terorisme justru membangkitkan sel-sel terorisme.
“Tanpa mengurangi kebebasan untuk memberi informasi, kita punya rujukan dan kearifan, bahwa setiap fakta tidak bisa disiarkan secara telanjang. Yang baik adalah harus ada proses edit, verifikasi dan pertimbangan lainnya,” jelas Mayong.
Salah satu hal yang menjadi sorotan yakni siaran langsung kasus terorisme atau persidangan kasus terorisme.
“Memang susah hakim melarang peliputan tapi semuanya kembali ke medianya. Kebijaksanaan media menjadi harapan demi kepentingan publik dan nasional serta penegakan hukum," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaaan Agung, Mohamad Rum.
Sementara itu, Kepala Biro Humas Mahkamah Agung Abdullah mengatakan, siaran langsung perkara terorisme bisa mengancam perangkat pengadilan sebab data identitas hakim jadi terbuka.
Selain itu siaran langsung juga bisa memengaruhi saksi. Siaran langsung bisa menambah wawasan kepada saksi berikutnya dan akan sulit dipertanggungjawabkan keterangannya.
“Mestinya saksi yang akan dimintai keterangan sesudah saksi sebelumnya tidak boleh mengetahui apa-apa yang disampaikan," kata dia.
Baca juga: BNPT Sebut Idealnya Narapidana Terorisme Terkonsentrasi dalam 1 Lapas
Adapun Ketua Dewan Pers Yoseph Adhi Prasetyo juga mengingatkan media untuk menaati aturan etika peliputan sidang di sebuah pengadilan.
Dewan pers, kata dia, sudah mengeluarkan pedoman peliputan terorisme maupun peliputan sidang lainnya yang dapat menjadi pegangan wartawan.
“Media memang harus membuat info berdasarkan fakta tapi jangan sampai mengabarkan ketakutan,” kata dia.
Kepala Biro Multimedia Polri Brigjen Pol Rikwanto juga mengingatkan media untuk hati-hati dalam menyampaikan informasi mengenai terorisme. Sebab ada kekhawatiran informasi yang tanpa pertimbangan matang akan memicu perkembangan sel terorisme.