JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum sepakat soal definisi terorisme dalam pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (RUU Antiterorisme).
Lantas, rapat Tim Perumus (Timus) RUU Antiterorisme menyepakati dua opsi atau konsep definisi terorisme.
Pertama, definisi terorisme versi pemerintah yakni terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional.
Kedua definisi alternatif yang diusulkan oleh sejumlah fraksi dengan memasukkan frasa motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.
Baca juga: Definisi Terorisme di RUU Antiterorisme Masih Belum Disepakati
Definisi tersebut berbunyi, terorisme adalah perbuatan yg menggunakan kekerasan atau ancaman yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.
Dua definisi tersebut nantinya akan dibahas kembali oleh DPR dan Pemerintah dalam Rapat Kerja. Rencananya, Rapat Kerja akan digelar pada Kamis, 24 Mei 2018 besok.
"Pihak pemerintah masih perlu melaporkan dan masih ada perbedaan sikap antar fraksi-fraksi," ujar Ketua Pansus RUU Antiterorisme Muhammad Syafi'i di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (23/5/2019).
Menurut Syafi'i, frasa tersebut harus dimasukan dalam definisi untuk membedakan apakah suatu tindakan kejahatan masuk dalam kategori kriminal biasa atau terorisme.
Baca juga: Kemenkunham: Jangan Sampai karena Definisi, RUU Antiterorisme Tidak Efektif
"Saya berpendapat harus ada pembeda antara kriminal biasa dan terorisme," ujar Syafi'i.
Ia menjelaskan, suatu tindakan tidak bisa dikategorikan sebagai terorisme apabila tidak memenuhi unsur adanya motif politik, ideologi atau ancaman terhadap keamanan negara.
Misalnya, seorang terduga teroris melakukan pembunuhan akibat berselisih paham dengan orang lain tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana terorisme.
Baca juga: Beberapa Ketentuan Draf RUU Antiterorisme yang Jadi Sorotan PP Muhammadiyah
Di sisi lain, definisi dalam batang tubuh dapat diterapkan secara kumulatif atau alternatif sehingga tidak menyulitkan aparat penegak hukum dalam bertindak.
"Misal ada orang yang berlabel teroris, dia selisih paham kemudian melakukan pembunuhan, apa ini bisa disebut teroris? Saya rasa bukan," ucapnya.
"Saya setuju sifatnya mau alternatif atau kumulatif, tapi kita bisa pertanggungjawabkan ke publik bahwa ada perbedaan antara kriminal biasa dan terorisme," kata dia.