JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus menilai bahwa proses pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (RUU Antiterorisme) harus terbuka dan transparan.
Dengan begitu, kata Lucius, publik bisa ikut memantau proses pembahasan.
"Kami mendesak agar pembahasan RUU Antiterorisme harus dilakukan secara terbuka dan transparan," ujar Lucius saat ditemui di kantor Formappi, Matraman, Jakarta Pusat, Selasa (22/5/2018).
Menurut Lucius, keterbukaan proses pembahasan bertujuan untuk mencegah adanya transaksi politik pragmatis.
Mengingat, dalam draf RUU Antiterosme banyak pasal-pasal yang menimbulkan perdebatan atau pro dan kontra.
Baca juga: RUU Antiterorisme Dinilai Perlu Atur Sanksi Terkait Kekerasan Aparat
"Pembahasan terbuka saya kira penting karena mereka membahas isu-isu krusial dalam waktu cepat. Itu akan sangat rentan terjadinya transaksi politik apalagi ini di tahun politik," kata Lucius.
"Sangat rentan pasal substansial dalam RUU Antiterorisme ini ditukarguling dengan kepentingan politik pragmatis menjelang pemilu 2019," ucapnya.
Selain itu, lanjut Lucius, partisipasi publik dalam proses pembahasan juga menghindari agar produk legislasi yang dihasilkan menjadi cacat.
Dia mencontohkan proses pembahasan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) yang justru banyak dikritik setelah disahkan.
"Saya kira di situ masalahnya. Kalau tidak terbuka nanti berisiko akan banyak pasal yang cacat. Akan seperti UU MD3 nantinya selesai lalu dikritik," ujar Lucius.