JAKARTA, KOMPAS.com - Reformasi 1998 tidak membawa angin perubahan dan perlindungan terhadap kerja-kerja pers di Indonesia.
Pengacara Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Ade Wahyudin mengatakan, hal ini terlihat dari masih banyaknya kekerasan terhadap jurnalis baik itu secara fisik atau non fisik.
"Sejak LBH Pers didirikan pada tahun 2003 sampai akhir 2017, setidaknya LBH Pers mencatat ada 732 kasus kekerasan kepada jurnalis baik itu fisik maupun non fisik," tutur Ade saat konferensi pers di Kantor LBH Pers, Jakarta, Selasa (22/5/2018).
LBH Pers, kata Ade, sejak tahun 2003 sampai Mei 2018 menangani kasus kekerasan terhadap jurnalis.
"Sebanyak 282 kasus dengan rincian 120 kasus ketenagakerjaan, 97 kasus pidana, 53 kasus perdata, 9 kasus tata usaha negara dan 3 kasus sengketa pemberitaan," tutur dia.
Baca juga: Cerita di Balik Aksi Mahasiswa Kuasai Gedung DPR Saat Reformasi 1998
Lebih lanjut, ucap dia, kasus ketenagakerjaan yang menimpa jurnalis dan pekerja media juga kerap terjadi, terlebih pada dua tahun ke belakang.
"Era digitalisasi terus menggerus perusahaan media yang tidak siap menghadapi perkembangan teknologi yang pada akhirnya menggerus pula terhadap kesejahteraan wartawan dan pekerja media," ucap Ade.
Bahkan, kata dia, terdapat pola-pola kekerasan yang terjadi terhadap jurnalis. Misalnya, pembunuhan, intimidasi, pelarangan liputan, perusakan atau perampasan alat, penghapusan hasil liputan, kekerasan verbal, dan lain-lain.
Ia mengatakan, sedikitnya kasus yang sampai pada vonis hakim baik itu pengadilan maupun sidang disiplin dikarenakan beberapa faktor.
Baca juga: Setelah Reformasi, Uang Bergambar Soeharto Pun Ditolak Pedagang...
"Pihak jurnalis sudah melakukan pelaporan kepada pihak kepolisisan, namun penyelesaiannya lama bahkan terkesan tidak ada tindak lanjut. Seperti halnya kasus kekerasan yang menimpa Zuhdy wartawan media online di Pekanbaru yang mendapat perlakuan kekerasan oleh oknum kepolisian saat melakukan peliputan kongres HMI," ucap dia.
Kedua, kata Ade, pihak jurnalis atau perusahaan medianya memilih mendiamkan dan tidak mau berurusan dengan proses hukum.
Dua faktor tersebut, kata Ade, adalah pola klasik yang mengakibatkan kasus kekerasan terhadap jurnalis akan terus berulang.
Selain banyaknya kasus kekerasan terhadap jurnalis lokal, ucap Ade, Papua juga menjadi penyumbang terbanyak kasus yang melibatkan jurnalis asing.
“Karena janji Presiden Jokowi membuka akses terhadap jurnalis asing, namun ada deportasi jurnalis asing,” kata Adi.