JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan menilai perlunya upaya menekan perkembangan tren penggunaan perempuan dalam radikalisme dan terorisme.
Sebab, jaringan kelompok teroris memandang bahwa perempuan bisa lebih militan dan memanipulasi aparat keamanan.
"Dan memanfaatkan peran perempuan sebagai ibu yang strategis untuk mentransmisikan ideologi radikal dan mempersiapkan anak-anak menjadi martir," demikian bunyi keterangan pers Komnas Perempuan yang diterima, Rabu (16/5/2018) malam.
Komnas Perempuan memaparkan, hasil Global Study 1325 menyatakan bahwa kekerasan berbasis gender menjadi taktik gerakan teroris.
Baca juga: Menalar Peran Teroris Perempuan di Balik Bom Bunuh Diri Surabaya
Anak perempuan dan perempuan yang menjadi istri atau pendamping, menjadi kelompok paling rentan dalam situasi konflik dan kegiatan terorisme.
"Perempuan juga kerap bersimpati dan menjadi pendukung dengan mempersiapkan makanan, kesehatan, dan sebagainya," paparnya.
Komnas Perempuan memandang, dari hasil pengaduan, konsultasi dengan para mitra penggiat isu perdamaian, bahwa berbagai pihak perlu melihat lebih jauh akar persoalan di balik keterlibatan perempuan dalam terorisme.
Perempuan seringkali menjadi pelaku, sebagai target perekrutan untuk menerima doktrin radikal dan menjadi alat ideologi, hingga dijadikan martir dengan melakukan kekerasan.
"Terlepas bahwa ada kerelaan karena dorongan keyakinan, namun keterlibatan mereka tidak bisa dilepaskan dari relasi dan hierarki gender yang timpang," papar Komnas Perempuan.
Baca juga: Dua Napi Teroris Perempuan dan Bayinya Ikut Dipindah ke Nusakambangan
Selain itu, doktrin kepatuhan di tengah budaya maskulin dalam lingkaran kelompok radikal juga melemahkan posisi tawar perempuan.
"Resolusi Dewan Keamanan PBB no. 1325 tentang Perempuan, Perdamaian dan Keamanan menyerukan kepada negara-negara untuk melindungi perempuan dan anak perempuan di wilayah konflik dari kekerasan berbasis gender," ujarnya.
Komnas Perempuan mengingatkan, resolusi DK PBB no. 2178 tahun 2014 telah menekankan pentingnya pemberdayaan perempuan sebagai faktor mitigasi dalam penyebaran kekerasan radikalisme.
Komnas Perempuan memandang pemberdayaan perempuan dalam menghalau paham radikalisme berpotensi tinggi dalam mencegah terorisme.
Baca juga: Seorang Perempuan Diamankan Densus 88 di Sukabumi
Seperti diketahui, dalam rangkaian teror belakangan ini, ada sejumlah perempuan yang terlibat atau berusaha melakukan aksi terorisme.
Pasca peristiwa Mako Brimob, aparat kepolisian pernah mengamankan dua orang perempuan yang diduga akan melakukan aksi penusukan terhadap anggota Brimob di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, Sabtu (12/5/2018).
Sementara dalam teror Surabaya, seorang istri dan dua anak perempuan terlibat dalam aksi pengeboman terhadap tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur.
Sementara itu, seorang istri juga terlibat dalam serangan teror di Polrestabes Surabaya. Di sisi lain, seorang anak perempuan yang sempat dilibatkan dalam aksi teror tersebut telah berhasil dilindungi oleh aparat dan menjalankan perawatan lebih lanjut.