JAKARTA, KOMPAS.com - Aksi terorisme kembali mencuat. Ini ditandai dengan kerusuhan di rumah tahanan Mako Brimob, bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya, hingga penangkapan dan ledakan bom di Mapolrestabes Surabaya serta sejumlah wilayah lain.
Ketua Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) periode 2010-2014 Ansyaad Mbai mengungkapkan, Presiden Joko Widodo telah menyatakan komitmen pemerintah untuk membasmi terorisme hingga ke akar-akarnya. Namun, upaya ini tidak bisa hanya dilakukan oleh Polri atau TNI.
"Akar-akarnya ini harus tahu. Maka, tidak bisa (hanya dilakukan) TNI dan Polri saja," ujar Ansyaad dalam sebuah diskusi terkait RUU Antiterorisme di Jakarta, Senin (14/5/2018).
Baca juga: 6 Panduan Orangtua Membahas Terorisme kepada Anak
Ansyaad menuturkan, kelompok radikal atau teroris menebarkan pengaruhnya melalui berbagai cara, termasuk lewat pengajian atau media sosial.
Upaya menangkal terorisme dan radikalisme pun bisa dilakukan dengan hal yang serupa.
Akan tetapi, pendekatan harus dilakukan secara menyeluruh. Polri dan TNI tidak bisa bekerja sendirian, seluruh elemen pemerintahan dan masyarakat pun harus terlibat.
"Whole government approach, bahkan whole nation approach," sebut Ansyaad.
Ansyaad memberi contoh, Kementerian Agama bisa membentuk tim yang berisikan dai-dai muda yang berpandangan moderat dan dapat masuk ke segala elemen.
Baca juga: Prabowo: Negara Kita Diganggu Serangkaian Bom, Lawan Terorisme!
Tugasnya adalah untuk menangkal paham-paham terorisme dan radikalisme.
"Pemerintah harus segera memfasilitasi dai-dai muda yang moderat," tutur Ansyaad.
Radikalisme di Anak-anak
Secara terpisah, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto menyoroti semakin meluasnya indoktrinasi ideologi terorisme dan radikalisme, bakan sampai ke anak-anak.
Ini berkaca dari bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya.
Para pelaku adalah satu keluarga. Empat di antara enam pelaku adalah anak-anak, berusia 9 hingga 18 tahun.
Baca juga: Wisatawan Bisa Lakukan Ini Bila Terjebak Aksi Terorisme saat Liburan
Untuik mencegah indoktrinasi seperti itu, maka perlu dilakukan upaya pencegahan secara komprehensif.
Seluruh elemen masyarakat dan kelompok agama maupun profesi pun harus dilibatkan.
"Hemat saya perlu pencegahan secara komprehensif, melalui edukasi berbasis masyarakat, berbasis kelompok agama, berbasis lintas profesi, dan berbasis media sosial," tutur Susanto ketika dihubungi Kompas.com.