JAKARTA, KOMPAS.com - Kuasa hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Yusril Ihza Mahendra memastikan pihaknya akan mengajukan banding atas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) pada Senin (7/5/2018) kemarin.
Berdasarkan ketentuan hukum acara, pihak HTI dapat mengajukan memori banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) selambat-lambatnya 20 hari setelah putusan PTUN.
"Putusan PTUN menyatakan HTI memiliki legal standing untuk dapat mengajukan perlawanan secara hukum," ujar Yusril saat menggelar konferensi pers di kantor HTI, Crowne Palace, Jakarta Selatan, Selasa (8/5/2018).
"Jangan gembira dulu dengan keputusan PTUN karena masih ada upaya banding, kasasi bahkan PK (Peninjauan Kembali) dan HTI sudah sepakat untuk mengajukan perlawanan terhadap putusan PTUN," ucapnya.
Baca juga : Menag Ajak Eks Anggota HTI Kembali ke Pangkuan Pancasila dan NKRI
Menurut Yusril, ada beberapa hal yang yang akan ia jadikan dasar dalam mengajukan banding.
Pertama, Yusril menilai melalui putusan tersebut, pengadilan telah memberlakukan aturan hukum secara surut.
Pasalnya, pemerintah menggunakan video dakwah HTI tahun 2013 sebagai salah satu bukti pembubaran HTI melalui Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 untuk mencabut status badan hukum HTI.
Sementara, kewenangan Menkumham dalam mencabut status badan hukum suatu organisasi baru diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 yang mengubah UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Dengan demikian, menurut Yusril, video tersebut tak bisa dijadikan dasar pemerintah membubarkan HTI.
Baca juga : Wiranto Minta Masyarakat Tak Lagi Ributkan Pembubaran HTI
Selain itu, bukti video yang diajukan pemerintah dalam persidangan baru diverifikasi tanggal 19 Desember 2017 atau lima bulan setelah penerbitan SK Menkunham. Hal itu, kata Yusril, menunjukkan bukti baru dicek orisinalitasnya setelah hukuman dijatuhkan.
"Karena itu kami berkali-kali meminta adakah kesalahan yang dilakukan HTI setelah penerbitan Perppu Ormas. Bukti di pengadilan itu kan yang lama," kata Yusril.
Yusril mengatakan, hal itu keliru sebab buku bukanlah fakta hukum melainkan sekadar referensi ilmiah yang tidak pernah dikonfirmasi secara sah melalui pemeriksaan yang fair dan obyektif.
"Kemudian pengadilan juga merujuk pada buku. Namanya juga buku rujukan. Ini kan aneh. Penulis bukunya juga sudah meninggal," ucapnya.
Yusril juga mempersoalkan pertimbangan hakim yang menyatakan penerbitan SK Menkumham tersebut telah sesuai prosedur. Menurut Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) itu, pemerintah tidak pernah memeriksa atau meminta keterangan dari pihak HTI.
"Tidak pernah ada konfrontir atas keterangan atas keterangan dan bukti sehingga ketiadaan pemeriksaan yang fair dan obyektif atau due process of law itu jelas menunjukkan penghukuman dilakukan tanpa proses yang cukup," kata Yusril.