JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan mendukung TNI Angkatan Udara (AU) dalam menghadapi gugatan oleh PT Diratama Jaya Mandiri dengan gugatan dalam perkara nomor 103/Pdt.G/2018/PN. Jkt.Tim.
Untuk diketahui, KPK telah menetapkan Direktur PT Diratama Jaya Mandiri Irfan Kurnia Saleh sebagai tersangka. Irfan merupakan pihak swasta yang dijerat oleh KPK terkait dugaan korupsi pada pengadaan helikopter AugustaWestland 101.
"Terkait gugatan perusahaan tersangka IKS ke TNI AU, Biro Hukum KPK juga telah berkoordinasi dengan pihak TNI AU dan mengajukan diri sebagai pihak ketiga yang berkepentingan," ujar Febri dalam keterangan tertulisnya, Senin (7/5/2018).
Baca juga: Tuntaskan Kasus Heli AW101, KPK Ingin Komitmen Panglima TNI dan BPK Terjaga
Dalam gugatan ini, perusahaan tersebut menggugat TNI AU agar mengabulkan sejumlah permohonan terkait pembayaran tahap III yang tidak dibayarkan sebesar Rp 73,8 miliar, sebagian pembayaran tahap IV senilai Rp 48,5 miliar, dan pengembalian jaminan pelaksanaan senilai Rp 36,94 miliar.
Febri mengungkapkan, KPK keberatan dengan gugatan perdata oleh PT tersebut karena proses penanganan kasus pengadaan helikopter tersebut masih terus berlangsung.
Di sisi lain, KPK juga melihat adanya potensi kerugian negara yang besar jika pembayaran tersebut dilakukan.
"Jika pembayaran dilakukan ada resiko kerugian negara yang lebih besar nantinya. Sehingga jauh lebih baik agar perkara dugaan tindak pidana korupsi diselesaikan terlebih dahulu," katanya.
Baca juga: Kasus Korupsi Helikopter AW101, PPATK Temukan Aliran Dana ke Singapura dan Inggris
Dalam kasus ini, TNI menetapkan lima orang tersangka dari jajarannya.
Mereka adalah Kepala Unit Pelayanan Pengadaan Kolonel Kal FTS SE, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam pengadaan barang dan jasa Marsekal Madya TNI FA, dan pejabat pemegang kas atau pekas Letkol admisitrasi WW.
Selain itu, staf yang menyalurkan dana ke pihak-pihak tertentu yakni Pelda (Pembantu letnan dua) SS, dan asisten perencanaan Kepala Staf Angkatan Udara Marsda TNI SB.
Pembelian helikopter ini bermasalah karena adanya dugaan penggelembungan dana dalam pembelian helikopter tersebut.
Awalnya, pengadaan dikhususkan pada heli jenis VVIP untuk keperluan presiden. Anggaran untuk heli tersebut senilai Rp 738 miliar.
Baca juga: KPK Sebut Mantan KSAU Tolak Paparkan soal Pengadaan Heli AW101
Namun, meski ditolak oleh Presiden Joko Widodo, pembelian heli tetap dilakukan. Jenis heli diubah menjadi heli untuk keperluan angkutan.
Selain itu, heli yang dibeli tersebut tidak cocok dengan spesifikasi yang dibutuhkan TNI Angkatan Udara. Misalnya, heli tidak menggunakan sistem rampdoor.
Hasil perhitungan sementara ditemukan kerugian negara sekitar Rp 224 miliar dari nilai proyek Rp 738 miliar tersebut.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.