JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Almas Sjafrina meragukan sistem pilkada melalui DPRD bisa menekan risiko dalam pelaksanaan pilkada langsung.
Hal ini menyikapi anggapan sejumlah pihak bahwa pilkada langsung memicu proses politik berbiaya tinggi.
Menurut dia, kesalahan bukan pada sistem pemilihannya, tetapi pada partai politik itu sendiri.
"Apakah menjawab dengan sistem pilkada langsung diubah ke tidak langsung? Tidak. Mahar politik tetap ada, itu yang terjadi dulu sebelum pilkada langsung," ujar Almas di Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta Pusat, Jumat (20/4/2018).
Baca juga: Menurut KPU, Tak Perlu Lagi Ada Wacana Pilkada melalui DPRD
Almas mengatakan, saat pilkada tidak langsung, politik uang masih terjadi. Bukan dibagikan ke masyarakat, tetapi ke anggota dewan untuk merebut suara mereka.
Oleh karena itu, menurut dia, mengganti sistem pemilihan tidak akan menjawab akar persoalannya. Tetap akan ada potensi calon kepala daerah tersangkut korupsi.
"Jangan sampai sistemnya sudah ganti, tetapi ternyata masalahnya tidak selesai-selesai," katanya.
Baca juga: Komedi Kepala Daerah Dipilih DPRD
Menurut Almas, ada beberapa cara mengatasi politik berbiaya tinggi dalam pilkada langsung.
Salah satunya dengan membatasi biaya kampanye. Saat ini, batasan jumlah belanja kampanye masih sangat tinggi sehingga harga pilkada pun mahal.
Selain itu, kata Almas, juga harus ada pembenahan di level parpol supaya sehat.
Baca juga: Pro Kontra Wacana Pengembalian Pemilihan Kepala Daerah ke DPRD
Salah satunya soal pendanaan sehungga tidak perlu meminta mahar politik kepada calon kepala daerah.
Partai politik yang justru memberi sumbangan kepada calon yang diusung.
"Kalau sudah baik, sisi rekrutmennya akan baik," ujarnya.
Selain itu, sistem penegakan hukum juga harus lebih keras.
Baca juga: Wacana Sistem Pilkada Lewat DPRD yang Kontraproduktif
Almas meminta penegak hukum pemilu harus lebih progresif mengejar akar permasalahannya.
Jangan hanya menyasar pemberi dan orang yang diberi dalam politik uang, tetapi juga menelusuri asal usul dana tersebut.
Sementara itu, untuk menekan biaya politik saat pilkada, perlu pemangkasan anggaran untuk alokasi tertentu.
Baca juga: Pilkada Lewat DPRD Dinilai Tak Atasi Politik Uang, Ini Saran Perludem
Misalnya, kata Almas, tidak perlu membayar saksi di tempat pemungutan suara (TPS). Sebab, Bawaslu telah menempatkan saksi-saksi yang menyebar di TPS.
Menurut dia, hanya perlu memperkuat pengawasnya supaya independen. Selain itu, bisa juga memanfaatkan teknologi untuk memantau proses pemilihan hingga penghitungan suara.