JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat Politik Lingkar Madani Ray Rangkuti menilai sanksi pencabutan hak politik bisa menjadi peringatan tegas bagi para politisi untuk menjauhi praktik korupsi.
Menurutnya, pencabutan tersebut bisa diterapkan jika politisi terbukti melakukan tindak pidana korupsi.
"Mereka yang melakukan korupsi itu adalah menyangkut kejahatan terhadap hak publik. Nah apa maksudnya? Rata-rata itu mereka menyalahgunakan kekuasaannya dalam rangka untuk korupsi," kata Ray di Sanggar Prathivi Building, Jakarta, Kamis (19/4/2018).
(Baca juga: Ketua DPR Tak Setuju KPU Larang Mantan Napi Korupsi Jadi Caleg)
Ray menegaskan, para mantan koruptor telah mengkhianati hak politik yang telah diberikan oleh rakyat. Sehingga, negara bisa melakukan pencabutan hak itu melalui mekanisme hukum yang berlaku.
Ia juga melihat sanksi pidana belum efektif menimbulkan efek jera bagi para koruptor. Sebab, kata dia, ada beberapa kasus mantan narapidana korupsi kembali terjun dalam pusaran korupsi.
"Kenyataannya politisi ini sangat takut sekali kalau hak politiknya dicabut, jadi ada pikiran lebih baik di penjara 5 tahun daripada hak politiknya dicabut. Dalam pikiran saya tidak ada mantan koruptor yang betul betul bertaubat setelah di penjara," ujarnya.
Ray mendukung aturan KPU soal larangan mantan narapidana kasus korupsi ikut Pileg 2019. Larangan ini mampu memperkuat basis kepentingan publik dalam pemberantasan korupsi.
"Jadi publik haknya sudah dilalaikan, bagi saya selama itu memenuhi kepentingan publik tidak masalah," katanya.
(Baca juga : Parpol Diminta Siapkan Lebih Banyak Caleg Cadangan)
KPU hingga saat ini tetap bertahan dengan keinginannya melarang mantan koruptor menjadi caleg 2019.
KPU menganggap korupsi merupakan kejahatan luar biasa sehingga pelarangan perlu diatur secara tegas dalam peraturan KPU. Larangan tersebut dapat disebut terobosan karena ketentuan itu tak diatur dalam UU Pemilu.
Seperti dikutip Kompas, KPU menyiapkan dua opsi untuk melarang mantan koruptor maju sebagai calon wakil rakyat.
Opsi pertama seperti yang tertuang dalam PKPU, yakni bakal caleg bukan mantan terpidana korupsi. Opsi kedua, melarang mantan terpidana korupsi jadi bakal caleg DPR dan DPRD.
Opsi kedua substansinya sama. Bedanya, subyek hukum di opsi kedua adalah partai politik, bukan para bakal caleg.