JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo menjelaskan bahwa KPK membutuhkan penyidik Polri, Muhammad Irhamni, dalam menuntaskan pemeriksaan kasus penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Irhamni diketahui pernah menjabat sebagai Ketua Satuan Tugas Penyidikan perkara SKL BLBI. Namun, ia harus meninggalkan kasus itu dan kembali ke Polri dikarenakan masa tugasnya di KPK sudah selesai selama 10 tahun.
Agus mengakui bahwa ada perbedaan pendapat di internal KPK terkait perekrutan kembali Muhammad Irhamni yang telah menjalankan tugasnya selama 10 tahun di KPK.
Meski demikian, Irhamni dinilai punya kemampuan khusus dalam melakukan pengembangan kasus BLBI tersebut.
"Memang ada kebutuhan. Terus terang kalau saya sampaikan, yang bersangkutan kan meneliti kasus BLBI sudah tiga tahun," kata Agus di kantor Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Jakarta, Selasa (17/4/2018).
(Baca juga: Periksa Dorodjatun Kuntjoro Jakti, KPK Dalami Penerbitan SKL BLBI)
Agus juga melihat sosok Irhamni sebagai penyidik yang paling mengerti konstruksi kasus korupsi BLBI. Dengan demikian, kata dia, KPK memerlukan bantuan dan pengetahuannya dalam mengusut kasus ini.
"Pada waktu kami akan memproses, kami perlu pengetahuan yang sangat khusus, transfer of knowledge dari yang bersangkutan. Ini kenapa terjadi rekrutmen begitu, karena kebutuhannya sangat spesifik," ujar dia.
Sebab, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia KPK, masa penugasan pegawai negeri yang dipekerjakan di KPK paling lama empat tahun.
Perpanjangan masa tugas hanya dapat diperpanjang satu kali dengan skema 4-4-2 sehingga totalnya 10 tahun.
"Karena ada dua pendapat yang berseberangan, sementara jadinya kami tunda (perekrutannya). Dikaji teman-teman Biro Hukum yang nanti akan mengajak ahli-ahli luar, yang benar itu pendapatnya yang mana," kata Agus Rahardjo.
(Baca juga: KPK Dalami Proses Penerbitan SKL BLBI)
Kasus SKL BLBI terjadi pada April 2004 saat Syafruddin mengeluarkan surat pemenuhan kewajiban atau yang disebut SKL terhadap Sjamsul Nursalim, selaku pemegang saham pengendali BDNI, yang memiliki kewajiban kepada BPPN.
SKL itu dikeluarkan mengacu pada Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 yang dikeluarkan pada 30 Desember 2002 oleh Presiden Megawati Soekarnoputri.
KPK menduga Syafrudin telah menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi, yang telah menyebabkan kerugian keuangan negara.
Audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan tertanggal 25 Agustus 2017, terkait kasus ini menyebutkan nilai kerugian keuangan negara adalah Rp 4,58 triliun.
Nilai kerugian negara ini lebih tinggi daripadanya yang sebelumnya diperkirakan KPK sebelumnya yang sebesar Rp 3,7 triliun.